Pages

Saturday, November 30, 2013

[CERPEN] Serpihan Mimpi

"Aku ingin menjadi Neil Armstrong." 

Itu katamu dulu, saat kita duduk berdua di atas loteng rumah kita. Rumah yang sudah dua tahun kita tempati bersama.

"Kenapa? Bukankah menakutkan pergi ke bulan tanpa tahu sebenarnya ada apa aja di sana?"

Aku yang saat itu sedang sibuk di depan laptopku──bergumul dengan angka-angka Microsoft Excel sialan yang adalah bagian dari pekerjaanku yang tak kunjung selesai──mengoceh dengan pesimis atas apa yang Arya, suamiku, ucapkan.

"Siapa bilang dia tidak tahu apa saja yang ada di bulan? Pasti dia dan timnya pergi ke luar angkasa dengan dibekali banyak persiapan, juga research gila-gilaan, Neisya," dia mendebat.

Aku mendongak padanya yang sedang berdiri di dekatku. Dia sedang menikmati secangkir teh panas yang kusiapkan untuknya. Teh vanila, minuman kesukaannya. 

"Benar juga," ujarku pendek. 

Sebenarnya aku tidak terlalu tenggelam dalam percakapan tentang to-the-moon-and-back itu. Karena apa? Karena lagi-lagi, si brengsek worksheet pekerjaanku mengganggu waktuku bersama suamiku.

Saat itu, kau berdiri tegak memandangi titik-titik cahaya di kejauhan──city view yang selalu kita dapatkan karena rumah kita yang memang ada di salah satu sudut dataran tinggi Kota Bandung. Dulu, sebelum kita menikah, kita sepakat untuk bergotong-royong membeli rumah ini. Sebuah rumah dengan harga yang sempat membuat kita mengalami migrain berkepanjangan, tapi untungnya kita cukup dibantu oleh program KPR alias Kredit Perumahan Rakyat dari pemerintah──yang hell, sebenarnya bunga KPR itu bisa membuat kita terbelit hutang selama bertahun-tahun berikutnya.

Tapi, apa sih yang tidak akan kita usahakan demi mendapatkan rumah cantik ini?

Kau jatuh cinta dengan rumah berlantai dua yang berdesain minimalis ini. Dan katamu, kau paling suka di bagian teras ini, yang hanya kita isi dengan dua buah kursi santai──untuk kita berdua, tentunya──plus beberapa pot bunga yang sengaja kusimpan agar mempercantik tempat ini.

Kau selalu bilang, kau sering kali membayangkan kalau tempat ini adalah landasan pesawat yang ditumpangi olehmu agar kau bisa pergi ke bulan. Atau planet-planet lainnya di luar angkasa. Saturnus, mungkin. Karena kau jatuh cinta pada cincin raksasa yang dimiliki planet itu.

Oh ya, aku lupa bilang. Suamiku adalah seorang engineer yang bermimpi menjadi seorang astronot. Sounds cool, huh?

Iya, itulah salah satu alasan mengapa aku jatuh cinta kepadamu, Arya. Karena mimpimu yang aneh, walaupun aku tidak bisa banyak berbagi mimpi denganmu karena gunungan pekerjaan yang menuntutku untuk bekerja selama hampir delapan belas jam setiap harinya──jangan kira aku bebas dari pekerjaanku di kala weekend datang.

Hingga dua minggu yang lalu tiba...

Aku pulang ke rumah menjelang tengah malam setelah selama satu minggu penuh aku bertugas ke luar pulau. Saat itu, aku ingin memberimu kejutan manis, Arya. Aku pulang ke rumah tanpa memberitahumu terlebih dahulu. Aku ingin membuat sebuah surprise manis yang romantis, yang akan menyalakan gelora cinta di antara kita berdua.

Aku berharap aku akan menemukanmu yang tengah meringkuk di salah satu sisi tempat tidur, dengan napas lembut yang terdengar ketika kau tertidur pulas. Lalu, aku akan mengecup keningmu, membuatmu terbangun dari tidur, mencium bibirmu, dan bercinta denganmu hingga pagi menjelang──masa bodoh dengan jam kantorku hari itu, karena aku terlalu merindukanmu.

Namun yang terjadi, rasanya aku dihujani dengan balok es sampai tubuhku berdarah-darah, saat aku mendapati seorang wanita yang sedang tertidur di tempat tidurku!

Tempat tidur yang selama ini kutempati bersamamu! 

Tempat yang aku yakini bahwa aku dan kau tetap memiliki cinta yang mahadahsyat, walaupun pekerjaanku banyak menyita waktu kebersamaan di antara kita!

"Kau terlalu sibuk dengan mimpi-mimpimu untuk menjadi seorang wanita karir!" teriakmu lantang saat itu, setelah aku menghadiahimu dengan tamparan-tamparan keras dan lemparan benda-benda di sekelilingku. Setelah sebelumnya, aku menjambak rambut wanita yang aku tahu adalah cinta pertamamu dan menyeretnya keluar dari rumah kita!

Aku mengusir wanita itu keluar seperti aku mengeluarkan kotoran yang lebih menjijikan daripada kotoran hewan! 

Makhluk menjijikan! 

Dan apa kau bilang, Arya? Kau lebih merasa nyaman dengan perempuan tidak tahu malu itu daripada bersamaku, istrimu sendiri?!

Kau menyalahkanku! Kau merutuki pekerjaanku yang kau bilang telah menciptakan jurang lebar di antara kita berdua!

Persetan dengan itu semua! 

Yang kutahu... kau tidak mencintaiku sebesar aku mencintaimu. Hanya itu yang aku tahu!

Setelah kata-kata makian saling terlempar, amarah yang menggelegak dan rasanya bisa membumihanguskan semua kenangan yang pernah kita miliki, kau pergi meninggalkanku sendirian!

Kau pergi dari rumah kita ini. Tanpa meninggalkan cerita tentang mimpimu menjadi astronot lagi. Tanpa meninggalkan aroma vanila dari dalam mulutmu lagi. 

Di November ini──tepat setelah dua tahun kita hidup dalam satu atap yang sama di rumah ini──kau tidak pernah kembali lagi ke sisiku.


***


Note:
Tulisan ini dibuat untuk ikut meramaikan acara nulis #KisahNovember yang diadakan oleh Mimin @KampusFiksi di penghujung November ini :)



November 30, 2013
Pia Devina

Wednesday, November 27, 2013

[CERPEN] Kembali

Aku tahu, lagi-lagi aku sedang bermimpi. Ini bukan kenyataan. Namun, kenapa kamu tetap bersikeras untuk hadir di dalam mimpi-mimpiku?

“Mungkin kita hanya bertemu di persimpangan jalan ini, kemudian masing-masing dari kita berjalan ke arah yang berlawanan…”

“Salah satu dari kita bisa berjalan memutar arah, hingga nantinya kita bisa berjalan ke arah yang sama. Benar, kan?” tenggorokanku tercekat saat memotong ucapan lelaki yang kini berdiri di hadapanku.

Bola matanya yang kecoklatan menatapku dengan hangat. Hangat… namun ada sepi di sana. Ada sedu tak terucap yang kulihat dari sorot matanya.

Sunyi. Tidak ada suara dariku maupun lelaki itu. Hanya suara angin di musim kemarau yang berhembus pelan, membisikkan nada tanpa kata.

Air mataku rasanya sudah ingin memberondong keluar dari persembunyiannya. “Jadi ini pilihan kita?” tanyaku kemudian.

Lelaki itu semakin terdiam, seolah semua kata yang mungkin terucap dari bibirnya akan menjadi bumerang tanpa ampun.

Kali ini aku menarik napas panjang, menahan sakit di hatiku yang teramat perih. “Aku mengerti. Ini salahku. Aku baru berani mencarimu di saat yang tidak tepat. Di saat hatimu bukan milikku lagi sepenuhnya. Di saat kamu memiliki kehidupan dengan orang lain, bukan dengan aku yang dulu tidak menyadari seberapa pentingnya dirimu.” Setiap kata yang kulontarkan terasa menghunus jantungku.

“Sekarang, ini bukan hanya tentang kita. Ada orang lain…”

“Aku mengerti,” ulangku, memotong ucapannya dengan napas tertahan. “Maaf… atas kehadiranku yang tidak tepat waktu di hidupmu.”

TOK… TOK… TOK…

Dalam diam, aku merekam sosoknya yang saat ini masih terlihat jelas oleh mataku… sebelum nantinya sosok itu menghilang dari hidupku.

TOK… TOK… TOK…

Sinar matahari yang terik kini menyorot wajah lelaki itu. Sedikit bagian wajahnya tertutup sinar matahari itu… kemudian setengah wajahnya… hingga sepenuhnya.

TOK… TOK… TOK…

Aku membuka mata dalam sepersekian detik. Kepalaku sakit. Lagi-lagi mimpi tentangnya, batinku. 

TOK… TOK… TOK…

Aku mendongak saat menyadari ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku. “Siapa?” tanyaku sambil memijit kening perlahan. Aku masih terbaring di atas tempat tidur. Matahari pagi menembus jendela kamar, menyapa pelan, seolah mengingatkan akan mimpi yang baru kualami.

TOK… TOK… TOK…

“Siapa?” ulangku. Aku beringsut dari tempat tidur dengan kepala yang masih terasa berat dan berjalan setengah terseok ke arah ruang tamu. “Sebentar,” ucapku dengan suara masih mengantuk, lalu segera memutar kunci dan membukakan pintu.

Rasanya waktu berhenti berputar saat aku melihat sosok yang selalu hadir di mimpi-mimpiku kini berdiri di hadapanku.

“Selamat pagi,” lelaki itu berkata pelan. “Vira.”

Selama beberapa saat, aku hanya mematung. Tubuhku terasa melayang. Apakah momen ini hanyalah salah satu bagian dari deretan mimpi panjangku tentangnya?

“Vira,” panggilnya lagi dengan pelan. Seuntai senyum tersungging di bibirnya. “Aku sudah memutuskan untuk berjalan memutar arah.”

Aku hanya bisa terpaku di tempatku berdiri. Berjalan memutar arah, batinku. 

Tiga kata itu adalah hal yang paling kuingat saat berpisah darinya. Tiga kata itu adalah dengung yang selalu mewarnai mimpi-mimpiku tentangnya.

Lelaki berkemeja abu itu kemudian bergerak selangkah mendekatiku. “Aku memutar arah untuk mengejarmu. Sekarang kita bisa berjalan bersama,” lelaki itu kemudian menggenggam kedua tanganku dengan lembut.

“Dia…” rasanya aku tidak sanggup berbicara.

“Dengan begini, lebih baik. Mantan tunanganku tidak akan tersakiti selama sisa hidupnya karena memiliki suami yang mencintai wanita lain,” lelaki itu menjawab pertanyaan yang belum sempat aku lontarkan. “Kita mulai awal baru.”

Seakan masih di dalam mimpi, aku merasa kakiku kehilangan pijakannya saking kagetnya aku mendengar semua ucapannya.

“Aku lapar,” ujarnya tiba-tiba, mendistraksi pikiranku. “Kamu mau menemaniku sarapan?” tanyanya dengan senyum penuh kelegaan yang tersirat di wajahnya.

Aku tahu, kali ini aku tidak ingin berlari. 

Cukup satu kali, aku melakukan kebodohan dengan tidak menyadari seberapa penting dirinya. Cukup satu kali, aku berlari mengejarnya saat dia memiliki seorang tunangan. Cukup satu kali, aku memutuskan untuk pergi dari hidupnya, empat bulan yang lalu. 

Dan sekarang… mungkin ini adalah jawaban dari mimpi-mimpiku. Kini dia hadir di hidupku. Untukku. 

Hanya untukku.

[CERPEN] Kedai Kopi Ini, Tempat Semua Berawal

Aku duduk di salah satu sudut kedai kopi favoritku yang rajin aku kunjungi hampir setiap hari. Sebuah buku catatan dan pulpen tergeletak di atas meja, di samping cangkir berisi Caramel Mocha Frappuccino pesananku.

Hearty Taste Coffee Shop.

Aku membaca sebuah papan penunjuk di bagian depan kedai kopi yang didominasi warna cream ini. Ya, Hearty Taste, rasa yang tulus… rasa yang hangat. Aku banyak mendapatkan inspirasi rasa tulus, rasa hangat, dari pengunjung-pengunjung yang ada disini. Kegiatan rutinku disini adalah menghabiskan waktu soreku dengan memperhatikan pergerakan-pergerakan pengunjung di tempat ini dan merangkai cerita hasil imajinasiku sendiri berdasarkan karakter-karakter yang aku lihat di tempat ini. 

Kali ini, dari sudut mataku, aku melihat seorang lelaki dan perempuan yang tengah duduk berdua di seberang sana, di bawah sebuah payung besar bernuansa cokelat, cream, dan putih, seperti cappuccino.  Mereka duduk berhadapan, saling menatap satu sama lain disela obrolan mereka yang diwarnai tawa. Ah, aku bisa melihat dengan jelas, mereka sedang jatuh cinta. 

Tidak lama kemudian, aku menulis serangkai tulisan di buku catatanku. Ide cerita di dalam kepalaku tertuang dalam bentuk draft tulisan.

Di bawah payung bernuansa cappuccino ini aku duduk bersamanya. Bersama lelaki yang kutunggu selama hampir tiga tahun. Bersama lelaki yang dengan bayangannya dalam benakku, kuhabiskan malam-malam dinginku. Rinduku kini terbayar. Lelaki yang kucintai ada disini, bersamaku, tersenyum untukku. Tersenyum manis seperti caramel… seperti yang selalu kurindukan.

Aku membaca ulang tulisanku. Point pertamaku telah tersimpan manis di buku catatanku. Nanti aku akan mengembangkan point ini menjadi satu cerita utuh yang tertuang dalam salah satu potongan cerita yang aku susun untuk novelku.

“Hmmm… mana lagi, ya?” gumamku seraya mengedarkan pandanganku, mencari karakter lain yang bisa menjadi sumber inspirasiku.

Mataku kemudian terpaku pada seorang lelaki bersetelan formal di pojok lain kedai kopi ini. Lelaki itu menatap lurus cangkir kopinya yang tampak tidak ia sentuh. Lelaki itu tampak lelah. Sorot matanya terlihat redup. Lelaki itu…

Ah, jantungku hampir copot! Buru-buru aku mengalihkan pandanganku saat mata lelaki itu tak sengaja bertemu dengan pandanganku. Pasti wajahku memerah karena malu. Aku menundukkan kepalaku, berpura-pura menuliskan sesuatu di atas buku catatanku, sementara jantungku masih berdebar dengan sangat cepat.

***

Aku melongo tak percaya. Lelaki itu mengunjungi kedai kopi ini lagi, di jam yang sama seperti waktu itu. Aku berdoa di dalam hati semoga lelaki yang hari ini bersetelan kemeja hitam itu tidak mengingat kejadian dua hari yang lalu, saat diam-diam aku memperhatikannya… dan ternyata disadari olehnya. 

Lelaki itu masih terlihat lelah. Sesuatu yang berat seperti menggerogoti hati dan pikirannya.

Aku mencarimu dalam rentang waktu yang sangat lama. Aku menunggumu untuk kembali ke sisiku, menghabiskan waktu bersama seperti dulu… sebelum kamu memutuskan untuk pergi meninggalkanku. Sekarang aku berdiri disini, bersama kehidupanku yang baru… ketika kamu memintaku untuk kembali… sementara aku tidak bisa berjalan memutar waktu…

***

Aku mengedarkan pandanganku selama beberapa menit, mencari-cari di antara para pengunjung yang tidak terlalu ramai mengunjungi kedai kopi sore ini. Sesosok tubuh jangkung yang mulai familier di mataku tiba-tiba berjalan masuk ke dalam kedai, mengedarkan pandangannya sesaat untuk mencari tempat duduk yang kosong, kemudian duduk di salah satu kursi di sudut kedai. Spot yang sama seperti pertama kali aku melihatnya minggu lalu.

Entah berapa lama, aku memperhatikan pergerakannya dari kejauhan. Lelaki itu termangu menatap layar ponselnya sejenak, kemudian memejamkan matanya dalam diam, seolah ingin menenangkan pikirannya yang telah membuatnya lelah.

Aku ingin melepaskan semua tentangmu. Aku ingin kamu melepaskan genggaman tanganmu yang tertancap tajam di dalam hatiku. Lepaskan aku… aku harus melangkah ke depan…

***

Dua minggu berlalu sejak terakhir kali aku melihat lelaki itu di kedai kopi ini. Dan selama waktu dua minggu itu pula, aku selalu mencarinya. Entah mengapa, rasanya aku ingin melihat sosok lelaki asing itu. Bukan hanya membangun imajinasiku sendiri tentang cerita hidup karakter lelaki itu… tapi aku ingin merasakan apa sesungguhnya yang lelaki itu rasakan… secara nyata, bukan imajinasiku.

Aku menarik napas panjang, membuang harapanku untuk bertemu lelaki itu hari ini. Kali ini aku akan fokus membangun karakter lain… bukan tentangnya lagi.

***

Jantungku terasa naik turun, bagaikan sedang melakukan bungee jumping dari tempat yang sangat tinggi. Ini gila. Ini tidak mungkin. Lelaki asing itu, kini tengah berjalan ke arahku!

Napasku tertahan saat lelaki itu kini berada hanya satu meter dari tempatku duduk. Buru-buru aku menutup buku catatanku dengan satu gerakan cepat. 

“Selamat sore,” sapa lelaki itu.

Untuk pertama kalinya, aku mendengar suara itu. Jantungku terasa memompa darah secara tidak normal, hingga rasanya aku kesulitan untuk bernapas maupun berbicara.

“Sepertinya kamu sering berkunjung kesini, ya?” tanyanya dengan seraut senyum tipis di wajahnya.

Aku mengangguk pelan, “Iya, ini tempat favorit saya,” aku berjuang untuk berbicara setenang mungkin, menutupi kegugupanku.

Lelaki itu tersenyum tawar. Benar, aku bisa merasakan kegundahan dalam diri lelaki itu.

“Boleh saya duduk disini?” tanyanya lagi dengan sopan. “Terlalu membosankan duduk di sana sambil meminum kopi sendirian.”

“Oh, tentu saja,” jawabku refleks, sementara jantungku masih berdegup kencang tidak karuan.

***
Disinilah aku berada sekarang. Duduk bersama Fedri, nama lelaki asing, yang kini telah rutin menjadi temanku bersantai sore di kedai kopi ini. Seringkali lelaki itu hanya terdiam bila aku sedang sibuk menulis draft-draft tulisan di buku catatanku. Selepas itu, kami menghabiskan waktu untuk mengobrol bersama. 

Tentangku… tentangnya. Tentang kehidupanku… tentang kehidupannya.

“Jadi, apa rencana kamu?” tanyaku setenang mungkin. Aku adalah teman berceritanya, yang selalu siap mendengarkan cerita hidupnya. Cerita tentang apapun yang ingin lelaki itu ceritakan. Apapun.

“Menurut kamu… apa yang harus aku lakukan?” katanya balik bertanya. “Mengejar masa lalu… atau menghadapi masa depan?”

Rasanya jantungku akan keluar dari rongga dadaku. Ada rasa sakit yang menyembul di permukaan hatiku. 

“Hmmm… kejar apa yang ingin hati kamu lakukan,” ucapku tawar.

Fedri terdiam. Lelaki itu menatap lurus kepadaku… kepada teman berceritanya.

***

Tiga bulan kemudian.

Kali ini aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Fedri duduk di hadapanku, menyodorkan sebuah kartu undangan bernuansa putih dengan motif-motifnya yang elegan. Senyum bahagia terkembang di wajahnya. “Aku memutuskan untuk mengejar apa yang hatiku inginkan, seperti katamu.”

Aku merasakan goresan di hatiku. Andai waktu bisa kuputar kembali, ingin aku memintanya untuk mengejarku yang mencintainya… bukan mengejar apa yang ingin hatinya lakukan.


*Selesai*




Maret. 2013
Pia Devina

[CERPEN] Manila, Where The Heart Found Its Home

23 November
Flight to Manila, Philippines.

Udara dingin menyapa kulit tanganku yang tidak tertutup blouse magenta-ku. Tidak, dingin yang kurasa bukan berasal dari alam bebas di luar sana, dimana hujan mulai turun membasahi jendela pesawat yang kini membatasi antara aku dan hujan. Gabungan antara suhu di dalam pesawat dengan kegugupan yang melandaku lah yang berhasil membuat tanganku gemetaran.

"Coffee, Miss?"

Aku menoleh ke sebelah kanan dengan agak memiringkan kepala, sedikit memajangkan leher agar aku bisa melihat seseorang yang tengah berbicara kepadaku. Seorang wanita berseragam merah dengan scarf berwarna cream di lehernya, dengan rambut cokelatnya yang digelung rapi di belakang kepalanya, tengah menyunggingkan senyumnya kepadaku.

"No, it's okay. Thanks," jawabku sopan kepada pramugari itu. Seorang wanita yang sepertinya seusiaku, yang duduk di kursi pesawat di sebelah kananku, melirik sekilas ke arahku sebelum menenggelamkan dirinya lagi pada novel Johanna Lindsey dalam pangkuannya.

Aku kembali memerhatikan hamparan warna biru di luar sana, mencoba menangkap pemandangan titik-titik air yang jatuh dengan kecepatan cepat──nyaris tak terkejar oleh pandangan mataku. 

Hujan. Presipitasi berwujud cair yang mungkin bukan hal istimewa bagi lebih dari separuh manusia di bumi. Tapi bagiku, hujan selalu menjadi hal yang berhasil menghangatkan perasaanku. Ya, hidrometeor berupa partikel-partikel air itu selalu membuat memoriku tentang seseorang mendominasi benakku. 

Haikal. Tetanggaku. Seorang lelaki yang enam tahun lalu telah mengambil hatiku tanpa disadari olehnya. Setiap kali aku mengingat moment itu, senyum di wajahku selalu terbit. Ah, betapapun dekatnya aku dengan dia, atau seberapa jauhnya pun aku dari dia... rasa yang sama hadir di hatiku. Rindu. Aku merindukan lelaki itu. 

Aku masih ingat──dan kurasa masih akan selalu ingat──ketika hatiku berputar haluan kepada Haikal, tetanggaku yang saat itu tinggal di samping rumahku selama satu tahun, semenjak aku dan keluargaku tinggal di Jakarta.

Pertengahan Oktober enam tahun yang lalu, aku bertemu dengannya. Bukan suatu pertemuan pertama, karena sesungguhnya aku dan Haikal sudah saling mengenal──hanya sebatas tahu nama dan pertemuan tidak sengaja antar tetangga. 

Waktu itu, sekitar jam delapan malam, aku baru pulang dari tempat les. Hujan yang turun deras, membuatku memutuskan untuk pulang ke rumah tidak melalui jalan utama. Memang, di kompleks rumahku ada satu jalan belakang yang tidak terlalu ramai dilewati warganya karena kondisi jalan yang berlubang sana-sini, membentuk kubangan-kubangan air. Tapi jalan belakang itu adalah alternatif jalan tercepat menuju rumahku. 

Daripada kepalaku semakin pening karena kehujanan, aku memberanikan diri melintasi jalan itu. Namun saat baru memasuki jalan yang tidak terlalu besar itu, aku melihat di ujung jalan ada dua orang laki-laki. Perasaanku tidak enak saat itu, tapi aku juga tidak bisa menjamin bahwa kedua orang di ujung sana itu adalah orang-orang yang berniat buruk kepadaku──entah preman atau apa.

Ya sudah, aku melanjutkan langkahku. Selang berikutnya, aku benar-benar ingin memaki diriku karena bertindak bodoh dengan memaksakan diri berjalan melalui jalan itu. Dua orang laki-laki itu──yang salah satunya berpostur tubuh jangkung kurus berkaus hitam, sementara yang satunya berperawakan agak gemuk──berjalan mendekatiku dari arah berlawanan.

Hatiku was-was bukan main. Aku sudah mundur selangkah dan bersiap membalikkan tubuhku untuk mengambil langkah seribu saat tiba-tiba kurasakan seseorang meraih pergelangan tangan kiriku. Aku terperanjat nyaris berteriak. 

Aku menengadahkan kepala dan melihat Haikal──si tetangga yang tidak terlalu kukenal itu──menatap lurus ke arah dua preman yang akan menggangguku tadi. Jantungku berdebar semakin tidak karuan saat wajah kaku Haikal seketika menyunggingkan senyum dingin ke arah preman-preman itu sambil berkata, "Saya harap kalian nggak berniat ngeganggu cewek ini."

Dan saat kaki kami berjalan bersama cipratan-cipratan air yang kami ciptakan dari langkah kaki kami yang beradu dengan aspal yang tersirami air hujan──masih dengan gengaman tangannya yang melingkari tanganku──aku membiarkan laki-laki berseragam abu-putih dengan backpack hitam yang tersampir di salah satu bahunya itu mencuri hatiku. 

***

23 November
Ninoy Aquino International Airport, Philippines.

Aku tiba di arrival gate Terminal 2 sekitar jam tujuh malam waktu setempat. Sambil melangkahkan kakiku, tangan kiriku menggenggam gagang koper berwarna cokelat, sementara sebelah tanganku yang lain sibuk menekan tombol-tombol di BlackBerry-ku yang baru saja kuaktifkan kembali setelah kumatikan selama penerbangan tadi.

From : Haikal Arifin
Subject : Have you arrived?
Date : November 23, 18:42
To : Nadira Selena

Udah sampe mana, Nad? So glad you finally visit this country!

Aku tersenyum membaca email dari Haikal──tetanggaku… temanku. Bukan, dia bukan kekasihku. 

From : Nadira Selena
Subject : I’m here!
Date : November 23, 18:56
To : Haikal Arifin

Tamu cantik dari negeri seberang udah mendarat dengan cantik di Filipina, hahaha! Tour guide-nya mana nih?

Aku menertawakan email yang kukirim untuk Haikal. Beginilah hubunganku dengan Haikal-ku. Maksudku… ummm, selama ini──enam tahun terhitung sejak dia ‘menyelamatkanku’ dari preman-preman waktu itu──kami berteman baik. Setelah lulus SMA, aku meneruskan kuliahku di fakultas ilmu komunikasi di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta, sementara Haikal kuliah di fakultas ekonomi di perguruan tinggi yang berbeda dengan tempatku berkuliah. Sekarang Haikal bekerja di Filipina, di Makati, salah satu central business district di negara itu, semenjak setahun yang lalu.

Sejak kejadian ‘penyelamatan’ dulu, kami menjadi berteman baik. Jangan harap ada cerita romantis di antara kami berdua. Karena kami hanya berteman. Sebatas itu.

Sepanjang sejarah pertemanan kami, aku maupun Haikal mempunyai track record dengan para mantan ataupun pacar kami masing-masing. Jadi… hubungan kami memang sebatas teman. Sedekat apapun aku dan dia, tidak akan pernah melewati garis kuning yang bukan bertuliskan police line, tetapi bertuliskan batas pertemanan.

From : Haikal Arifin
Subject : Sorry... 
Date : November 23, 18:58
To : Nadira Selena

Ah, maaf, aku belum bilang. Sorry, aku nggak bisa jemput kamu. Aku masih ada urusan. Kalau kamu naek taksi ke tempat aku, bisa? 

Aku menghentikan langkahku seketika. Astaga, lelaki ini mulai lagi dengan penyakit workaholic-nya! Aku menggigit bibir bawahku karena hampir menangis. Maksudku… boleh kan aku berharap aku dijemput olehnya di bandara ini setelah aku terbang berjam-jam dari Jakarta?

From : Nadira Selena
Subject : You’re so annoying!
Date : November 23, 19.00
To : Haikal Arifin

Nggak tau, ah! Aku mau keliling Manila sendiri aja! Aku nggak jadi liburan di sini bareng kamu. Bye!

Tepat ketika aku akan memilih icon untuk mengirimkan emailku itu, aku terenyak kaget saat seseorang menepuk pundak kiriku.

“Kok tamu cantiknya manyun?” 

Aku melongo dengan tampang super kaget. 

Seorang lelaki berkemeja biru berdiri di hadapanku. Lelaki itu tersenyum lebar ke arahku. “Pasti udah mau marah gara-gara ada yang bilang nggak bisa jemput, ya?”

Butuh beberapa detik agar aku bisa memfilter apa yang seharusnya aku katakan.  “Damn you! Dasar bocah nyebelin!” aku berkata sambil terbahak dan memukul pelan lengan kirinya. 

Ah, seandainya aku bisa mengatakan, “Aku merindukan kamu,” sambil memeluknya sepenuh hati…

***

23 November
Café Juanita, Pasig City, Metro Manila.
Aku terpana memerhatikan desain interior Café Juanita ini. Yang terlintas di kepalaku adalah statement bahwa aku sedang berada di dalam sebuah toko barang antik, bukan di dalam sebuah kafe. Lampu-lampu bernuansa lembut, dengan interior yang dihiasi koleksi pernak-pernik antik, tirai, dan kandil-kandil, benar-benar menciptakan atmosfer berbeda dari tempat ini. 
“WOW!”
Haikal tertawa melihat responku. “Welcome to Philippines,” ujarnya. “Sekarang, mendingan kamu milih makanan yang ada di menu daripada kamu ngebiarin perut kamu kelaperan. Aku khawatir kamu bakalan melototin tempat ini sampai pagi,” dia terkekeh.
“Enggak gitu juga kali,” sergahku tergelak. “But honestly… I love this place!” seruku kepada lelaki yang duduk di hadapanku.
Haikal lagi-lagi menyunggingkan senyumnya. “Ah, jadi pangkat aku yang ada di daftar paling atas something-or-someone you love tersingkir dengan kafe ini?” candanya dengan menyipitkan matanya.
DEG.
Rasanya ada bom atom yang dijatuhkan ke dalam rongga dadaku.

***

23 November
Astoria Plaza Hotel, Pasig City.

“Makasih untuk makan malamnya, Kal. Aku suka Kare-Kare sama Stick Toffee Pudding-nya,” aku berkata kepada Haikal yang berdiri di hadapanku. Kami berdua berada di depan pintu kamar tempatku menginap di Filipina selama tiga hari ini.

You’re very welcome. Besok kita jalan-jalan ke Intramuros, ya,” ajaknya seraya tersenyum. “Kamu masuk gih, terus cepetan ganti baju, ntar masuk angin.”

Refleks, aku memerhatikan bagian depan blouse-ku yang agak basah karena kehujanan saat tadi kami keluar dari Café Juanita. “Dikit doang kok basahnya.” 

“Rambut kamu juga basah, tuh,” Haikal menjawab, tidak mau kalah.

“Salah sendiri kamu parkirnya jauh, nnggak di depan pintu kafenya.”

Haikal tergelak. “Tempat parkirnya kan penuh tadi,” jawabnya membela diri. “Udah ah, susah ngedebat kamu. Mending sekarang kamu istirahat. Aku balik dulu,” lanjutnya.

Aku menganggukkan kepala, lalu mengulurkan tangan kananku ke arahnya, yang ternyata dibalas dengan uluran tangan kanannya.

“Apaan?” tanyaku tertawa. “Maksud aku, siniin kopernya,” aku melepaskan tangan Haikal dari genggamanku──dia tidak tahu bagaimana riuhnya perasaanku selama beberapa jam ini gara-gara dia. 

“Koper,” kataku lagi sambil menunjuk koper yang gagangnya berada dalam genggaman tangan kiri Haikal.

“Oh,” Haikal membulatkan bibirnya. Dia menyerahkan gagangan koperku kepadaku. “Good night, then,” dia berpamitan.

“Sampai ketemu besok,” jawabku. 

Haikal pun berlalu, sementara aku hanya bisa mematung memandanginya berjalan menjauhiku hingga sosoknya menghilang dari pandanganku.

Aku memutar tubuhku seratus delapan puluh derajat, membuka kunci pintu kamar dan bergegas masuk ke dalam. Aku membiarkan koperku tergeletak begitu saja di atas karpet, sementara aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur berseprai hijau terang dengan selimut cokelat yang tersampir di tigaperempat bagian tempat tidur. Aku memejamkan mata──bukan untuk tidur, hanya mencoba untuk mengendalikan pikiranku sendiri.

Hanya derap air hujan di luar sana yang kini menemaniku dalam kegundahan akan keputusanku──keputusan akan masa depanku.

Ya… dua bulan lagi aku akan bertunangan dengan pacarku, Putra, lelaki yang telah menjabat sebagai pacarku selama lebih dari setahun terakhir. Akan tetapi… pada kenyataannya, hatiku tidak pernah seutuhnya kuberikan untuk Putra. Karena sesungguhnya, ada seseorang yang telah memiliki hatiku… jauh sebelum Putra masuk ke dalam kehidupanku.   

***

24 November
Intramuros.

"Gimana kerjaan kamu di Makati?" aku bertanya pada Haikal yang kini berjalan di sampingku. Kami berdua melangkah keluar dari Plaza Mexico Station, tempat Pasig River Ferry yang kami tumpangi tadi berhenti. 

Kami lalu berjalan menuju Plaza Mexico, Plaza Espanan dan crumbling skeleton Intendencia──sebuah rumah pada periode kejayaan Spanyol yang kini pada abad kedua puluh telah berubah menjadi Central Bank.

Intramuros atau yang lebih dikenal dengan Walled City merupakan distrik tertua di Manila yang lekat dengan sejarah periode kolonial Spanyol. Tempat ini terletak di Manila Bay, sebelah selatan sungai Pasig. Tembok-tembok kokoh yang merupakan sisa-sisa sejarah abad ke-16, sekarang telah menjadi pusat kota administrasi Manila.

"Oke-oke aja," jawab Haikal. "Cuma tingkat stressor di Philippine Stock Exchange agak lumayan."

"Awas. Ntar cepet tua gara-gara stress mikirin kerjaan," candaku.

Haikal tertawa. "Kerjaan kamu sendiri... gimana? Asik dong pasti jadi reporter?" tanya Haikal kemudian. Ia membenarkan sedikit letak payung transparan yang digenggamnya agar meminimalisir tetesan air hujan yang ingin menyergapku.

"Asik," jawabku seadanya, lalu otomatis tersenyum.

"Kenapa ketawa?" tanya Haikal.

"Lucu aja, kita pake payung. Kamu yang bawa payung itu, tepatnya," ocehku.
Haikal balas tertawa. "Funny but so damn good. Udah lama kita nggak jalan berdua pas lagi hujan kayak gini, kan?"

Aku membeku mendengar ucapan Haikal.
"Ayo kita ke Fort Santiago," ajaknya kemudian kepadaku. 

Iya, kepadaku──aku yang tengah sekuat tenaga mengatur kekusutan perasaanku sendiri.

***

24 November
Astoria Plaza Hotel, Pasig City.
What the hell am I doing?

Aku mengguyur kepalaku dengan air shower, berusaha untuk mendinginkan kepalaku──mengembalikan kewarasanku. Kepalaku berdenyut, rasanya hampir meledak. 

Seharusnya aku menempelkan kertas post it di keningku untuk mengingatkanku akan tujuan utama kedatanganku ke Filipina: untuk memberitahu Haikal bahwa aku, temannya ini, akan bertunangan. 

Seharusnya aku mengatakan hal itu dari awal kedatanganku, bukannya malah terbuai dengan liburanku──yang semuanya kuhabiskan bersama Haikal──dengan melupakan eksistensi Putra di dalam hari-hariku.

Tidak. Ini tidak benar. Aku harus memberitahu Haikal. Kalau perlu, besok pagi saat dia baru menginjakkan kakinya di depan pintu kamarku untuk menjemputku, hal pertama yang akan kukatakan kepadanya adalah tentang rencana pertunanganku.

Baru beberapa detik aku membulatkan niatku itu, rasanya hatiku seketika menciut──seperti balon udara yang kehabisan gas hidrogennya. Saat memandangi tetesan-tetesan air yang jatuh dari shower, seketika saja aku mengingat kebersamaanku dengan Haikal hari ini. Aku dan dia di antara hujan… berjalan bersama. Hanya kami berdua.

***

25 November
Rizal Park.

Jam setengah delapan malam.

Aku mengedarkan pandangan, memperhatikan hiruk pikuk pengunjung yang mendatangi Rizal Park──salah satu taman terbesar di Asia tenggara, yang dimulai dari Taft Avenue hingga Manila Bay.

Dari tempatku berdiri, aku melihat warna warni sorot lampu di berbagai penjuru. Ternyata tempat ini tengah menyuguhkan pertunjukan air mancur menari──waterworks, yang diiringi musik serta lagu. “Kal, ini keren banget!” aku tidak bisa menyembunyikan kekagumanku, sementara Haikal hanya terkekeh melihat tingkahku.

“Udah aku bilang, kamu butuh cuti lama dari kerjaan kamu buat stay di sini. Hmmm… at least dua minggu lah,” ujarnya seraya menyipitkan matanya.

Aku mendelik galak ke arahnya. “Tapi kalau ntar aku dipecat, kamu yang nanggung biaya hidup aku, ya!” balasku sambil tergelak. 
Haikal tertawa, sementara aku baru menyadari kesalahan ucapanku.

If he were to bear the burden of my life, wouldn’t that mean… that he should be my… husband?

Aku menggelengkan kepala saat pikiran itu melintas di kepalaku. Aku harus menyingkirkan pikiran gila itu.

“Pusing kayaknya kalau nanggung kamu. Liat nih,” canda Haikal. Ia menunjuk kantong-kantong belanjaan yang digenggamnya──barang-barang belanjaanku selama kami pergi sepanjang hari ini, termasuk saat kami mengunjungi Ayala Center yang banyak dipenuhi pertokoan di segala penjurunya.

Ternyata Haikal tidak menyadari keganjilan dalam sikapku beberapa detik yang lalu. Syukurlah. 

Anyway, thanks for today, Mr. Tour Guide,” kataku untuk mengalihkan pembicaraan. “Untuk Ayala Museum dan Ayala Triangle Park-nya, juga untuk Manila Bay Walk-nya… juga…”

“Eh,” Haikal tiba-tiba memindahkan beberapa kantong belanjaan dari genggaman tangan kanannya ke tangan kirinya, kemudian meletakkan telapak tangan kanannya itu di atas kepalaku. “Hujan, Nad. Ayo cepetan kita balik!” serunya.

Selama dua detik, aku terbengong. Baru saat saraf sensorikku dapat bekerja kembali, aku menyadari tetesan-tetesan air hujan membasahi pipiku. 

Kemudian, aku dan Haikal berlari menerobos hujan yang mulai deras. Dengan tawa yang teruntai di antara kami, aku meninggalkan gundah yang tengah kurasa… dan melupakan apa yang seharusnya kukatakan kepada Haikal hari ini.

***

25 November
Astoria Plaza Hotel, Pasig City.

Gundah yang tadi sempat lenyap dari pikiran dan perasaanku, nyatanya kembali lagi──tepat setelah Haikal mengantarku ke tempat aku menginap, lalu berpamitan pulang. 

“Seru?”

Tenggorokanku tercekat. Rasanya ada ratusan duri yang menyangkut di sana. “Seru,” jawabku berusaha sesantai mungkin. Aku hanya bisa berdoa agar Putra──lelaki yang sekarang sedang berbicara denganku di telepon──memercayai ucapanku. 

Putra tahu bahwa aku pergi ke Filipina untuk berlibur. Awalnya, dia juga akan ikut. Tetapi pekerjaannya di salah satu perusahaan konsultan di Jakarta, membuatnya tidak bisa meninggalkan pekerjaannya itu. Akhirnya aku tetap pergi sendiri karena tiket penerbangannya sudah kupesan dari jauh-jauh hari, sementara tiket milik Putra tidak jadi dipakai. Mulanya, aku berencana mengenalkan Putra kepada Haikal secara langsung untuk pertama kalinya saat kami berdua mengunjungi Haikal di Filipina. 

Iya… selama ini Haikal mengetahui Putra dari cerita-ceritaku melalu email juga telepon. Yang tidak dia ketahui adalah rencana pertunanganku dengan Putra dua bulan lagi. Sementara Putra… dia tidak mengetahui bahwa yang kumaksud dengan ‘teman semasa SMA yang sekarang stay di Filipina’ adalah seorang lelaki bernama Haikal. 

Putra memang tidak pernah membahasnya… karena… karena kupikir, dia berpikiran bahwa teman lama yang kumaksud adalah seorang perempuan.

“Besok aku jemput kamu di bandara ya, Nad,” Putra berbicara dengan lembut dari seberang sana. “Aku kangen kamu. I wanna met you soon… aku pengen kita berdua cepet-cepet nyiapin kebutuhan untuk acara pertunangan kita nanti.”

DEG. 

Rasanya ada pisau tajam yang mengiris hatiku hingga berdarah.

***

26 November
Ninoy Aquino International Airport.

"Have a safe flight, Nad."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum, namun tidak menjawab. Aku berusaha menyingkirkan getir yang mungkin terlukis dari suaraku. 

"Nanti kamu cuti yang agak lama, biar kita bisa jalan-jalan ke banyak tempat. Pantai, mungkin," Haikal berkata penuh semangat, dengan background rintik hujan di luar sana, yang terlihat dari jendela kaca berukuran besar di belakang tubuhnya.

Aku tahu aku tidak bisa diam lebih lama... karena aku telah memutuskan.

Adanya kamu dalam hidupku, membuatku ingin selalu berusaha meraih mimpi-mimpiku. Dan di dalam setiap mimpiku itu... ada kamu.

Bulir air mataku menggantung di sudut-sudut mataku. Apa yang diucapkan Putra tadi malam, menjungkirbalikkan dinding pertahanan perasaanku. Aku menyayangi lelaki itu... lelaki yang telah tulus mencintaiku selama lebih dari setahun terakhir. Tapi nyatanya perasaanku kepadanya tidak pernah sanggup membobol benteng tinggi pembentuk ruang di dalam hatiku──ruang yang kubangun hanya untuk seseorang yang tengah duduk di hadapanku.

"Kenapa diem aja?"

Haikal memiringkan sedikit kepalanya, mencoba melihat wajahku yang tertunduk menatap lantai. "Pasti kamu sedih gara-gara masih kangen sama aku, ya?" tanyanya dengan nada jahil. 

Aku mencoba ikut tersenyum dengan kepala masih tertunduk sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mendongakkan kepala.

"Kamu beneran sedih?" Haikal masih meledekku saat melihat wajahku yang mungkin dengan jelas menggambarkan kesedihan──satu kesedihan yang mungkin tidak ia duga apa alasannya.

Tepat saat aku akan membuka mulutku untuk berbicara, suara seorang wanita menggema dari speaker di bandara ini. Penerbanganku untuk kembali ke Jakarta.

Ah... mungkinkah ini pertanda agar aku mendekap perasaanku ini tanpa harus dia ketahui? 

"Aku... balik sekarang, ya," kalimat itu yang terucap, bukan tentang perasaan yang sesungguhnya menggenangi isi hatiku selama ini.

Aku berdiri, disusul dengan Haikal yang ikut berdiri, lalu menyerahkan gagang koper milikku kepadaku. "I'm gonna miss you, Nad," ujarnya dengan seutas senyum hangat yang tergambar di wajahnya.

Oh Tuhan, rasanya hatiku teriris-iris. Bagaimana caranya aku memberitahu Haikal bahwa aku mencintainya? 

Bagaimana caranya aku memberitahu dirinya bahwa aku akan bertunangan dengan orang lain? Walaupun… pertanyaan itu adalah satu kenyataan yang mungkin tidak akan mengubah apapun… karena Haikal tidak pernah memiliki rasa yang sama dengan apa yang kumiliki untuknya. 

Haikal menepuk lembut puncak kepalaku dan berkata, "Jangan bandel, ya..."

Runtuh sudah usahaku untuk tidak mengeluarkan air mata di hadapannya. Aku tidak peduli bila akhirnya air mata yang tumpah di pipiku sama derasnya dengan hujan yang kini turun di luar sana.

"Nah, kan, tiba-tiba nangis…"

Aku tersenyum. Ingin rasanya aku memintanya untuk memelukku, memintaku untuk tetap berada di sisinya... sebagai...

"Ya udah sana, nanti kamu ketinggalan pesawat."

Saat menatap bola mata Haikal yang riang... yang selalu memberi tawa untukku... rasanya aku benar-benar ingin menghambur dalam dekapannya dan tenggelam bersama tangisku di sana. Namun detik ini juga, aku merasa ada tembok tinggi kokoh yang berdiri di antara kami berdua.

Putra. Iya... aku tidak bisa menyakiti Putra. Dia sedang menungguku...

Aku kemudian merogoh salah satu saku coat-ku, mengeluarkan BlackBerry-ku dari dalamnya, kemudian menonaktifkan BlackBerry-ku itu. Aku harus mengatakannya. Dan setelah semua yang ingin kuucapkan itu terutarakan, aku butuh waktu untuk sendirian.

Haikal memerhatikan gerak-gerikku tanpa mencurigai apapun──tanpa mengetahui apa yang akan aku katakan kepadanya.

Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Aku akan bertunangan dengan Putra… dua bulan lagi. Aku... aku akan menikah dengan orang lain, Kal..."

Aku tidak berani meneruskan ucapanku, juga tidak berani menatap Haikal. Aku hanya memeluk Haikal sekilas, kemudian melangkahkan kakiku menjauh darinya, mengabaikan samar suaranya yang memanggil namaku. Aku mencoba meninggalkan perasaanku di sini, di Filipina… di satu negeri dimana hatiku berada di rumahnya──tempat Haikal berada──bersama dengan sang hujan, yang akan selalu membuatku teringat akan Haikal-ku.

***

1 Desember
Jakarta.

“Aku takut kehilangan kamu…”

Tanganku yang memegang secangkir teh hangat bergetar setelah mendengarkan apa yang baru diucapkan lelaki yang duduk terpaku di hadapanku, di teras rumahku.

“Aku… selama ini aku nggak sadar kalau aku takut kehilangan kamu. Sampai akhirnya beberapa hari yang lalu kamu bilang kamu berencana nikah dengan Putra… aku sadar-sesadar-sadarnya… kalau aku takut kehilangan kamu.”

Haikal memandang lurus ke arahku. Dia tampak letih setelah terbang beberapa jam dari Manila ke Jakarta… untuk menemuiku.

Aku membeku. Rongga pernapasanku terasa terkunci dengan sebongkah batu besar. Dadaku sesak. Rasa ngilu menjalar di seluruh nadiku.

“Aku… udah terlambat, Nad?” tanyanya lirih.

Aku membuang pandanganku darinya, berusaha terfokus memperhatikan derap hujan yang membasahi rerumputan di depanku. Aku menghindari tatapan sedihnya yang terasa sanggup menghunus hatiku.  

Correct me if I was wrong… tapi… dari cara kamu ngasih tau aku waktu di bandara, kenapa aku ngerasa kamu sedih, Nad? Kenapa kamu nggak ngasih tau kabar pertunangan kamu… dengan ceria? Dengan tawanya kamu?”

Aku terdiam. Ada jeda lama di antara kami. 

“Nad… apa aku bener-bener udah terlambat?” Haikal mengulangi pertanyaannya.

Ketika aku menoleh ke arahnya dan akan menjawab pertanyaannya, sebuah sedan hitam meluncur masuk ke bagian depan garasi rumahku.

Aku dan Haikal melihat ke arah sana… ke arah dimana sesosok lelaki baru saja turun dari mobilnya. Lelaki itu tersenyum hangat kepadaku, kemudian menganggukkan kepalanya dengan ramah ke arah Haikal.

“Selamat sore,” ucap lelaki yang telah berada di dekat kursi tempat Haikal duduk. 

Rasanya kepalaku dihantam palu. Semua sistem di tubuhku terasa bagai benang kusut.

“Ini siapa, Nad?” tanya lelaki itu dengan nada ramah.

Aku menghela napas berat, lalu berdiri mendekati lelaki itu. Haikal ikut berdiri dengan ragu. “Putra… ini Haikal,” aku berkata dengan suara tercekat. Rasanya aku hampir menangis. Tapi aku tahu, saat ini aku harus mengambil keputusan… keputusan yang akan menyakiti seseorang… atau dua orang.

Haikal memandangiku dengan risau di rona wajahnya.

“Haikal ini temen aku dari SMA. Dulu dia tetangga aku yang tinggal di deket rumah orang tua aku,” setengah mati aku berusaha menetralkan nada bicaraku kepada Putra──tanpa melihat ke arahnya. 

“Dan Haikal… ini Putra,” Oh Tuhan… inikah jawaban yang akan kuberikan? “Ini… Putra… tunangan aku… calon suami aku.”

Di antara derasnya hujan yang menabrak permukaan bumi, aku menyakiti hati seseorang yang paling kusayangi. Aku hanya berharap… Haikal bisa mengerti dengan keputusanku. 

Aku tidak bisa menyakiti Putra. Dan aku… aku berharap hubungan pertemananku dengan Haikal bisa baik-baik saja. 

Hanya itu harapanku. Harapanku di antara hujan… yang selalu menjadi tali pengikat di antara aku dan Haikal.


*Selesai*




Februari, 2013
Pia Devina