Pages

Saturday, November 30, 2013

[CERPEN] Serpihan Mimpi

"Aku ingin menjadi Neil Armstrong." 

Itu katamu dulu, saat kita duduk berdua di atas loteng rumah kita. Rumah yang sudah dua tahun kita tempati bersama.

"Kenapa? Bukankah menakutkan pergi ke bulan tanpa tahu sebenarnya ada apa aja di sana?"

Aku yang saat itu sedang sibuk di depan laptopku──bergumul dengan angka-angka Microsoft Excel sialan yang adalah bagian dari pekerjaanku yang tak kunjung selesai──mengoceh dengan pesimis atas apa yang Arya, suamiku, ucapkan.

"Siapa bilang dia tidak tahu apa saja yang ada di bulan? Pasti dia dan timnya pergi ke luar angkasa dengan dibekali banyak persiapan, juga research gila-gilaan, Neisya," dia mendebat.

Aku mendongak padanya yang sedang berdiri di dekatku. Dia sedang menikmati secangkir teh panas yang kusiapkan untuknya. Teh vanila, minuman kesukaannya. 

"Benar juga," ujarku pendek. 

Sebenarnya aku tidak terlalu tenggelam dalam percakapan tentang to-the-moon-and-back itu. Karena apa? Karena lagi-lagi, si brengsek worksheet pekerjaanku mengganggu waktuku bersama suamiku.

Saat itu, kau berdiri tegak memandangi titik-titik cahaya di kejauhan──city view yang selalu kita dapatkan karena rumah kita yang memang ada di salah satu sudut dataran tinggi Kota Bandung. Dulu, sebelum kita menikah, kita sepakat untuk bergotong-royong membeli rumah ini. Sebuah rumah dengan harga yang sempat membuat kita mengalami migrain berkepanjangan, tapi untungnya kita cukup dibantu oleh program KPR alias Kredit Perumahan Rakyat dari pemerintah──yang hell, sebenarnya bunga KPR itu bisa membuat kita terbelit hutang selama bertahun-tahun berikutnya.

Tapi, apa sih yang tidak akan kita usahakan demi mendapatkan rumah cantik ini?

Kau jatuh cinta dengan rumah berlantai dua yang berdesain minimalis ini. Dan katamu, kau paling suka di bagian teras ini, yang hanya kita isi dengan dua buah kursi santai──untuk kita berdua, tentunya──plus beberapa pot bunga yang sengaja kusimpan agar mempercantik tempat ini.

Kau selalu bilang, kau sering kali membayangkan kalau tempat ini adalah landasan pesawat yang ditumpangi olehmu agar kau bisa pergi ke bulan. Atau planet-planet lainnya di luar angkasa. Saturnus, mungkin. Karena kau jatuh cinta pada cincin raksasa yang dimiliki planet itu.

Oh ya, aku lupa bilang. Suamiku adalah seorang engineer yang bermimpi menjadi seorang astronot. Sounds cool, huh?

Iya, itulah salah satu alasan mengapa aku jatuh cinta kepadamu, Arya. Karena mimpimu yang aneh, walaupun aku tidak bisa banyak berbagi mimpi denganmu karena gunungan pekerjaan yang menuntutku untuk bekerja selama hampir delapan belas jam setiap harinya──jangan kira aku bebas dari pekerjaanku di kala weekend datang.

Hingga dua minggu yang lalu tiba...

Aku pulang ke rumah menjelang tengah malam setelah selama satu minggu penuh aku bertugas ke luar pulau. Saat itu, aku ingin memberimu kejutan manis, Arya. Aku pulang ke rumah tanpa memberitahumu terlebih dahulu. Aku ingin membuat sebuah surprise manis yang romantis, yang akan menyalakan gelora cinta di antara kita berdua.

Aku berharap aku akan menemukanmu yang tengah meringkuk di salah satu sisi tempat tidur, dengan napas lembut yang terdengar ketika kau tertidur pulas. Lalu, aku akan mengecup keningmu, membuatmu terbangun dari tidur, mencium bibirmu, dan bercinta denganmu hingga pagi menjelang──masa bodoh dengan jam kantorku hari itu, karena aku terlalu merindukanmu.

Namun yang terjadi, rasanya aku dihujani dengan balok es sampai tubuhku berdarah-darah, saat aku mendapati seorang wanita yang sedang tertidur di tempat tidurku!

Tempat tidur yang selama ini kutempati bersamamu! 

Tempat yang aku yakini bahwa aku dan kau tetap memiliki cinta yang mahadahsyat, walaupun pekerjaanku banyak menyita waktu kebersamaan di antara kita!

"Kau terlalu sibuk dengan mimpi-mimpimu untuk menjadi seorang wanita karir!" teriakmu lantang saat itu, setelah aku menghadiahimu dengan tamparan-tamparan keras dan lemparan benda-benda di sekelilingku. Setelah sebelumnya, aku menjambak rambut wanita yang aku tahu adalah cinta pertamamu dan menyeretnya keluar dari rumah kita!

Aku mengusir wanita itu keluar seperti aku mengeluarkan kotoran yang lebih menjijikan daripada kotoran hewan! 

Makhluk menjijikan! 

Dan apa kau bilang, Arya? Kau lebih merasa nyaman dengan perempuan tidak tahu malu itu daripada bersamaku, istrimu sendiri?!

Kau menyalahkanku! Kau merutuki pekerjaanku yang kau bilang telah menciptakan jurang lebar di antara kita berdua!

Persetan dengan itu semua! 

Yang kutahu... kau tidak mencintaiku sebesar aku mencintaimu. Hanya itu yang aku tahu!

Setelah kata-kata makian saling terlempar, amarah yang menggelegak dan rasanya bisa membumihanguskan semua kenangan yang pernah kita miliki, kau pergi meninggalkanku sendirian!

Kau pergi dari rumah kita ini. Tanpa meninggalkan cerita tentang mimpimu menjadi astronot lagi. Tanpa meninggalkan aroma vanila dari dalam mulutmu lagi. 

Di November ini──tepat setelah dua tahun kita hidup dalam satu atap yang sama di rumah ini──kau tidak pernah kembali lagi ke sisiku.


***


Note:
Tulisan ini dibuat untuk ikut meramaikan acara nulis #KisahNovember yang diadakan oleh Mimin @KampusFiksi di penghujung November ini :)



November 30, 2013
Pia Devina

No comments:

Post a Comment