Pages

Wednesday, November 27, 2013

[CERPEN] Kedai Kopi Ini, Tempat Semua Berawal

Aku duduk di salah satu sudut kedai kopi favoritku yang rajin aku kunjungi hampir setiap hari. Sebuah buku catatan dan pulpen tergeletak di atas meja, di samping cangkir berisi Caramel Mocha Frappuccino pesananku.

Hearty Taste Coffee Shop.

Aku membaca sebuah papan penunjuk di bagian depan kedai kopi yang didominasi warna cream ini. Ya, Hearty Taste, rasa yang tulus… rasa yang hangat. Aku banyak mendapatkan inspirasi rasa tulus, rasa hangat, dari pengunjung-pengunjung yang ada disini. Kegiatan rutinku disini adalah menghabiskan waktu soreku dengan memperhatikan pergerakan-pergerakan pengunjung di tempat ini dan merangkai cerita hasil imajinasiku sendiri berdasarkan karakter-karakter yang aku lihat di tempat ini. 

Kali ini, dari sudut mataku, aku melihat seorang lelaki dan perempuan yang tengah duduk berdua di seberang sana, di bawah sebuah payung besar bernuansa cokelat, cream, dan putih, seperti cappuccino.  Mereka duduk berhadapan, saling menatap satu sama lain disela obrolan mereka yang diwarnai tawa. Ah, aku bisa melihat dengan jelas, mereka sedang jatuh cinta. 

Tidak lama kemudian, aku menulis serangkai tulisan di buku catatanku. Ide cerita di dalam kepalaku tertuang dalam bentuk draft tulisan.

Di bawah payung bernuansa cappuccino ini aku duduk bersamanya. Bersama lelaki yang kutunggu selama hampir tiga tahun. Bersama lelaki yang dengan bayangannya dalam benakku, kuhabiskan malam-malam dinginku. Rinduku kini terbayar. Lelaki yang kucintai ada disini, bersamaku, tersenyum untukku. Tersenyum manis seperti caramel… seperti yang selalu kurindukan.

Aku membaca ulang tulisanku. Point pertamaku telah tersimpan manis di buku catatanku. Nanti aku akan mengembangkan point ini menjadi satu cerita utuh yang tertuang dalam salah satu potongan cerita yang aku susun untuk novelku.

“Hmmm… mana lagi, ya?” gumamku seraya mengedarkan pandanganku, mencari karakter lain yang bisa menjadi sumber inspirasiku.

Mataku kemudian terpaku pada seorang lelaki bersetelan formal di pojok lain kedai kopi ini. Lelaki itu menatap lurus cangkir kopinya yang tampak tidak ia sentuh. Lelaki itu tampak lelah. Sorot matanya terlihat redup. Lelaki itu…

Ah, jantungku hampir copot! Buru-buru aku mengalihkan pandanganku saat mata lelaki itu tak sengaja bertemu dengan pandanganku. Pasti wajahku memerah karena malu. Aku menundukkan kepalaku, berpura-pura menuliskan sesuatu di atas buku catatanku, sementara jantungku masih berdebar dengan sangat cepat.

***

Aku melongo tak percaya. Lelaki itu mengunjungi kedai kopi ini lagi, di jam yang sama seperti waktu itu. Aku berdoa di dalam hati semoga lelaki yang hari ini bersetelan kemeja hitam itu tidak mengingat kejadian dua hari yang lalu, saat diam-diam aku memperhatikannya… dan ternyata disadari olehnya. 

Lelaki itu masih terlihat lelah. Sesuatu yang berat seperti menggerogoti hati dan pikirannya.

Aku mencarimu dalam rentang waktu yang sangat lama. Aku menunggumu untuk kembali ke sisiku, menghabiskan waktu bersama seperti dulu… sebelum kamu memutuskan untuk pergi meninggalkanku. Sekarang aku berdiri disini, bersama kehidupanku yang baru… ketika kamu memintaku untuk kembali… sementara aku tidak bisa berjalan memutar waktu…

***

Aku mengedarkan pandanganku selama beberapa menit, mencari-cari di antara para pengunjung yang tidak terlalu ramai mengunjungi kedai kopi sore ini. Sesosok tubuh jangkung yang mulai familier di mataku tiba-tiba berjalan masuk ke dalam kedai, mengedarkan pandangannya sesaat untuk mencari tempat duduk yang kosong, kemudian duduk di salah satu kursi di sudut kedai. Spot yang sama seperti pertama kali aku melihatnya minggu lalu.

Entah berapa lama, aku memperhatikan pergerakannya dari kejauhan. Lelaki itu termangu menatap layar ponselnya sejenak, kemudian memejamkan matanya dalam diam, seolah ingin menenangkan pikirannya yang telah membuatnya lelah.

Aku ingin melepaskan semua tentangmu. Aku ingin kamu melepaskan genggaman tanganmu yang tertancap tajam di dalam hatiku. Lepaskan aku… aku harus melangkah ke depan…

***

Dua minggu berlalu sejak terakhir kali aku melihat lelaki itu di kedai kopi ini. Dan selama waktu dua minggu itu pula, aku selalu mencarinya. Entah mengapa, rasanya aku ingin melihat sosok lelaki asing itu. Bukan hanya membangun imajinasiku sendiri tentang cerita hidup karakter lelaki itu… tapi aku ingin merasakan apa sesungguhnya yang lelaki itu rasakan… secara nyata, bukan imajinasiku.

Aku menarik napas panjang, membuang harapanku untuk bertemu lelaki itu hari ini. Kali ini aku akan fokus membangun karakter lain… bukan tentangnya lagi.

***

Jantungku terasa naik turun, bagaikan sedang melakukan bungee jumping dari tempat yang sangat tinggi. Ini gila. Ini tidak mungkin. Lelaki asing itu, kini tengah berjalan ke arahku!

Napasku tertahan saat lelaki itu kini berada hanya satu meter dari tempatku duduk. Buru-buru aku menutup buku catatanku dengan satu gerakan cepat. 

“Selamat sore,” sapa lelaki itu.

Untuk pertama kalinya, aku mendengar suara itu. Jantungku terasa memompa darah secara tidak normal, hingga rasanya aku kesulitan untuk bernapas maupun berbicara.

“Sepertinya kamu sering berkunjung kesini, ya?” tanyanya dengan seraut senyum tipis di wajahnya.

Aku mengangguk pelan, “Iya, ini tempat favorit saya,” aku berjuang untuk berbicara setenang mungkin, menutupi kegugupanku.

Lelaki itu tersenyum tawar. Benar, aku bisa merasakan kegundahan dalam diri lelaki itu.

“Boleh saya duduk disini?” tanyanya lagi dengan sopan. “Terlalu membosankan duduk di sana sambil meminum kopi sendirian.”

“Oh, tentu saja,” jawabku refleks, sementara jantungku masih berdegup kencang tidak karuan.

***
Disinilah aku berada sekarang. Duduk bersama Fedri, nama lelaki asing, yang kini telah rutin menjadi temanku bersantai sore di kedai kopi ini. Seringkali lelaki itu hanya terdiam bila aku sedang sibuk menulis draft-draft tulisan di buku catatanku. Selepas itu, kami menghabiskan waktu untuk mengobrol bersama. 

Tentangku… tentangnya. Tentang kehidupanku… tentang kehidupannya.

“Jadi, apa rencana kamu?” tanyaku setenang mungkin. Aku adalah teman berceritanya, yang selalu siap mendengarkan cerita hidupnya. Cerita tentang apapun yang ingin lelaki itu ceritakan. Apapun.

“Menurut kamu… apa yang harus aku lakukan?” katanya balik bertanya. “Mengejar masa lalu… atau menghadapi masa depan?”

Rasanya jantungku akan keluar dari rongga dadaku. Ada rasa sakit yang menyembul di permukaan hatiku. 

“Hmmm… kejar apa yang ingin hati kamu lakukan,” ucapku tawar.

Fedri terdiam. Lelaki itu menatap lurus kepadaku… kepada teman berceritanya.

***

Tiga bulan kemudian.

Kali ini aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Fedri duduk di hadapanku, menyodorkan sebuah kartu undangan bernuansa putih dengan motif-motifnya yang elegan. Senyum bahagia terkembang di wajahnya. “Aku memutuskan untuk mengejar apa yang hatiku inginkan, seperti katamu.”

Aku merasakan goresan di hatiku. Andai waktu bisa kuputar kembali, ingin aku memintanya untuk mengejarku yang mencintainya… bukan mengejar apa yang ingin hatinya lakukan.


*Selesai*




Maret. 2013
Pia Devina

No comments:

Post a Comment