Pages

Wednesday, November 27, 2013

[CERPEN] Kembali

Aku tahu, lagi-lagi aku sedang bermimpi. Ini bukan kenyataan. Namun, kenapa kamu tetap bersikeras untuk hadir di dalam mimpi-mimpiku?

“Mungkin kita hanya bertemu di persimpangan jalan ini, kemudian masing-masing dari kita berjalan ke arah yang berlawanan…”

“Salah satu dari kita bisa berjalan memutar arah, hingga nantinya kita bisa berjalan ke arah yang sama. Benar, kan?” tenggorokanku tercekat saat memotong ucapan lelaki yang kini berdiri di hadapanku.

Bola matanya yang kecoklatan menatapku dengan hangat. Hangat… namun ada sepi di sana. Ada sedu tak terucap yang kulihat dari sorot matanya.

Sunyi. Tidak ada suara dariku maupun lelaki itu. Hanya suara angin di musim kemarau yang berhembus pelan, membisikkan nada tanpa kata.

Air mataku rasanya sudah ingin memberondong keluar dari persembunyiannya. “Jadi ini pilihan kita?” tanyaku kemudian.

Lelaki itu semakin terdiam, seolah semua kata yang mungkin terucap dari bibirnya akan menjadi bumerang tanpa ampun.

Kali ini aku menarik napas panjang, menahan sakit di hatiku yang teramat perih. “Aku mengerti. Ini salahku. Aku baru berani mencarimu di saat yang tidak tepat. Di saat hatimu bukan milikku lagi sepenuhnya. Di saat kamu memiliki kehidupan dengan orang lain, bukan dengan aku yang dulu tidak menyadari seberapa pentingnya dirimu.” Setiap kata yang kulontarkan terasa menghunus jantungku.

“Sekarang, ini bukan hanya tentang kita. Ada orang lain…”

“Aku mengerti,” ulangku, memotong ucapannya dengan napas tertahan. “Maaf… atas kehadiranku yang tidak tepat waktu di hidupmu.”

TOK… TOK… TOK…

Dalam diam, aku merekam sosoknya yang saat ini masih terlihat jelas oleh mataku… sebelum nantinya sosok itu menghilang dari hidupku.

TOK… TOK… TOK…

Sinar matahari yang terik kini menyorot wajah lelaki itu. Sedikit bagian wajahnya tertutup sinar matahari itu… kemudian setengah wajahnya… hingga sepenuhnya.

TOK… TOK… TOK…

Aku membuka mata dalam sepersekian detik. Kepalaku sakit. Lagi-lagi mimpi tentangnya, batinku. 

TOK… TOK… TOK…

Aku mendongak saat menyadari ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku. “Siapa?” tanyaku sambil memijit kening perlahan. Aku masih terbaring di atas tempat tidur. Matahari pagi menembus jendela kamar, menyapa pelan, seolah mengingatkan akan mimpi yang baru kualami.

TOK… TOK… TOK…

“Siapa?” ulangku. Aku beringsut dari tempat tidur dengan kepala yang masih terasa berat dan berjalan setengah terseok ke arah ruang tamu. “Sebentar,” ucapku dengan suara masih mengantuk, lalu segera memutar kunci dan membukakan pintu.

Rasanya waktu berhenti berputar saat aku melihat sosok yang selalu hadir di mimpi-mimpiku kini berdiri di hadapanku.

“Selamat pagi,” lelaki itu berkata pelan. “Vira.”

Selama beberapa saat, aku hanya mematung. Tubuhku terasa melayang. Apakah momen ini hanyalah salah satu bagian dari deretan mimpi panjangku tentangnya?

“Vira,” panggilnya lagi dengan pelan. Seuntai senyum tersungging di bibirnya. “Aku sudah memutuskan untuk berjalan memutar arah.”

Aku hanya bisa terpaku di tempatku berdiri. Berjalan memutar arah, batinku. 

Tiga kata itu adalah hal yang paling kuingat saat berpisah darinya. Tiga kata itu adalah dengung yang selalu mewarnai mimpi-mimpiku tentangnya.

Lelaki berkemeja abu itu kemudian bergerak selangkah mendekatiku. “Aku memutar arah untuk mengejarmu. Sekarang kita bisa berjalan bersama,” lelaki itu kemudian menggenggam kedua tanganku dengan lembut.

“Dia…” rasanya aku tidak sanggup berbicara.

“Dengan begini, lebih baik. Mantan tunanganku tidak akan tersakiti selama sisa hidupnya karena memiliki suami yang mencintai wanita lain,” lelaki itu menjawab pertanyaan yang belum sempat aku lontarkan. “Kita mulai awal baru.”

Seakan masih di dalam mimpi, aku merasa kakiku kehilangan pijakannya saking kagetnya aku mendengar semua ucapannya.

“Aku lapar,” ujarnya tiba-tiba, mendistraksi pikiranku. “Kamu mau menemaniku sarapan?” tanyanya dengan senyum penuh kelegaan yang tersirat di wajahnya.

Aku tahu, kali ini aku tidak ingin berlari. 

Cukup satu kali, aku melakukan kebodohan dengan tidak menyadari seberapa penting dirinya. Cukup satu kali, aku berlari mengejarnya saat dia memiliki seorang tunangan. Cukup satu kali, aku memutuskan untuk pergi dari hidupnya, empat bulan yang lalu. 

Dan sekarang… mungkin ini adalah jawaban dari mimpi-mimpiku. Kini dia hadir di hidupku. Untukku. 

Hanya untukku.

No comments:

Post a Comment