Pages

Wednesday, December 5, 2012

[THE DAYS WITH A DREAMER] Dec 5th, 2012 – 2:59 PM

Sepertinya mataku mulai terasa berkunang-kunang. Entahlah, mungkin mataku ini sedang berdemo karena seharian ini aku berjibaku dengan layar laptop ASUS 10 inch-ku, juga dengan PC Hewlett-Packard kantorku yang berdiri manis di atas meja kantorku. Tapi ini memang rutinitasku, kok. Menghadapi makhluk yang bernama komputer dan sebangsanya.

Ya, kenyataannya adalah: aku seorang staf quality management di salah satu perusahaan asing yang bergerak di bidang farmasi, tetapi aku bermimpi ingin menjadi seorang penulis, juga… penyiar radio. Is it too much for having so many-many-many dreams? Aku rasa tidak. Toh, semua orang punya hak untuk bermimpi setinggi gunung, bukan? Tumpuklah mimpi-mimpi itu melebihi Gunung Himalaya. Tidak berdosa, bukan? Aku rasa prinsipku itu benar adanya, but you can choose to debate me, anyway.

Kembali lagi pada roda kenyataan. Yap, I’m a pharmacist, yang nyatanya sangat-sangat-sangat mencintai dunia yang fleksibel di luar lingkup pekerjaanku. Bahkan, salah satu sahabatku mengatakan: “Bentukan kamu tuh bentukan sekretaris, atau orang human resources department, atau mungkin orang bagian marketing, bukan orang yang duduk diam di belakang meja kantor sebagai staf bagian pengawasan mutu.”


Hanya secuil orang yang mengenalku yang tahu dengan pasti bahwa profesi pekerjaanku memang berbeda jalur dengan minatku sejak remaja. Bagaimana ya menganalogikannya? Ah, otakku terasa tumpul saat ini, mungkin karena efek daging yang dibakar berupa sate yang siang tadi kumakan, lengkap dengan es kelapa muda yang nyatanya sungguh-sungguh berhasil membuatku seakan baru saja menenggak obat tidur. Pokoknya, ibaratkan aku adalah sekeping koin, dengan pekerjaan formalku yang kaku berada di salah satu sisinya, lantas satu sisi lainnya ditempati oleh keinginanku untuk bebas meraih semua mimpi-mimpiku yang bersifat jauh dari kata kaku.


Ada yang salah? Tidak, aku rasa. Dulu, waktu SMA, aku memang berpikiran untuk kuliah di fakultas ilmu komunikasi. Tapi, aku yang dulu masih terbawa-bawa keinginan keluargaku untuk mengambil studi di bidang science, akhirnya banting setir memilih fakultas farmasi.


Apakah aku menyesal? Oh, tidak, aku rasa. Titik di mana aku berada saat ini adalah pilihanku. Masa depan yang dulu aku rancang. Benar, kan?


Yang jadi masalah saat ini sebenarnya tidak banyak. Aku menyukai pekerjaanku yang telah kugeluti lebih dari setahun. Tetapi… beberapa bulan ini aku kembali tergila-gila dengan membaca novel. Entah berapa banyak uang yang harus kurogoh dari ATM-ku, yang sialnya bisa kugunakan kapan saja dengan mudahnya untuk membeli buku secara online dengan menggunakan fasilitas online banking. Dalam sebulan aku bahkan haus untuk membeli lima hingga sepuluh buku. Aku tahu, buku-buku itu nyatanya belum semuanya terbaca olehku. Tapi bagaimana lagi? Hasratku untuk membeli buku memang gila-gilaan. Membuat lupa diri. Dan tentunya membuat sakit kepala saat menyadari berapa rupiah yang telah kutukar dengan buku-buku yang kuinginkan itu.


Oke, lupakan soal nominal, karena bukan itu intinya. Dari kebiasan membaca yang mulai kulakukan lagi itu lah, satu naluriku yang cukup lama terpendam akhirnya muncul lagi ke permukaan. Ya, dengan membaca, otomatis, hobi menulisku yang beberapa tahun sempat bertemu dengan kata jeda pun akhirnya tepercik lagi. Dan, entah kenapa, seakan semua hal terjadi berurutan dalam beberapa bulan ini, satu mimpiku yang lain selain menjadi penulis, yaitu menjadi penyiar radio, akan terealisasi. Iya, hari ini. Beberapa jam lagi aku akan mengudara, membuktikan kepada ragu yang bertahun-tahun mengendap dalam dadaku. Aku akhirnya bisa menjadi penyiar, kok. Walaupun untuk membuat mimpiku itu menjadi, perlu satu proses yang dinamakan menunggu, yang nyatanya, bukan hanya dalam waktu sekejap mata.

Sunday, November 18, 2012

[Cuap-Cuap] After Lunch which Turn Into Sleepy After Noon

"What will you do when you a have a job, but you have a joy in the opposite position?"

That's absolutely what i feel rite now. 
Habis jam istirahat siang ini yang diakhiri dengan perut kenyang, lantas PC ama laptop pun malah jadi keliatan berkunang-kunang pas nampilin kerjaan. Pusyiiing. Ngantuuukkks.
Hey, it doesn't mean i didn't like my job. I like to stay in here, doing my job, which is make me feel comfort in many aspects. Cuma emang ada kalanya gue ngerasa passion gue buat nulis dan baca tuh jauh lebih. Kayak yang mendominasi gitu...

Eh, kok jadi ngelantur sih ini?
*Yawn*
Enggak apa-apa dong pengen cuap-cuap geje siang ini, yes?

Yuk ah mareee bikin dokumen lagiiiii...

Wednesday, October 17, 2012

[Cuap-Cuap] Biar 'Menggembel' yang Penting Jalan-Jalan!

Akhir taun 2008 (wow, it’s been so many years ago!), gue ama beberapa temen kuliah gue berlibur ke Singapore. Judulnya siy sekalian ngerayain taun baru 2009 di sana. Hahaha, ceritanya going abroad, Singapore… eh tapi jangan salah! Gue ama temen-temen berlibur dengan duit pas-pasan tapi nekat belanja ini-itu dengan kalap, sampe sempet nahan makan dan minum yang masa ampuuunnn... mahal betul! Hahaha… makluuummm... ngirit!

Sampe pas mau balik, duit dolar Singapore-nya nyaris abis, tinggal koin-koin doang... bahkan temen gue ada yang duitnya abis banget, kagak bersisa 1 sen pun! Nyaris juga enggak bisa bayar MRT klo koin-koin punya gue ama temen-temen enggak dikumpulin.

Hahaha… parahhh... defisit abisss... tapi menyenangkan! I had my colorful vacation with my besties. Booo... berhubung kita semua pada gila difoto (bahkan dengan ekspresi yg enggak banget dan kucel-kucel gara-gara jalan seharian), alhasil... Singapore jadi background buat foto-foto kita yang bejibun itu! So… we were not just talking about money... but laughter when we were together! Hahaha... secaraaaaa... duit pas-pasan! Hmmm... seruuu... J


[Cuap-Cuap] Kelakuan Para Anak Buah

Juli kemaren, gue ama tiga orang temen kerja gue, plus satu orang bos di tempat gue kerja, ngadain training ke salah satu cabang perusahaan di Penang, Malaysia. Acara training itu dijadwalin selama 5 hari, dengan agenda hariannya yang cukup ketat: training dari jam 9 pagi sampe jam 5 sore.


Do you know what’s the meaning of it? Yap, waktu buat di Penang habis untuk training yang sama artinya dengan kerja! Hahaha, ya emang sih, pada kenyataannya, gue ama temen-temen kantor gue disuruh ke Penang kan buat kerja, tapiii… pengen juga dong dapet waktu buat travelling dikit. Hiks!

Di hari ketiga training, gue ama tiga orang temen gue beres training jam 5 sore, sementara bos kita mesti meeting dulu ama manajemen perusahaan sono. Nah, gue ama temen-temen, memutuskan untuk jalan-jalan keliling Penang sebentar sambil nunggu jam makan malam bareng bos. Eh, ternyata… kebablasan sampe jam 9 malem jalan-jalannya! Sementara itu… bos kita nungguin di lobi selama lebih dari satu jam. Parahnya, enggak ada satupun dari gue ama temen-temen gue yang ngasih kabar ama bos kita kalo kita bakal balik telat ke hotel. Alhasil, bapak bos marah dong! Dinner time yang biasanya santai diantara kita berlima berubah jadi makan malam bernuansa horor nan mencekam! Pengalaman oh pengalaman… J

Saturday, September 22, 2012

[Flash Fiction] Delia

"Hey, jangan memasang tampang seperti itu!"
Aku ingat dengan jelas bagaimana ekspresi Delia saat mengatakan hal itu. Saat itu, dia berdiri di hadapanku, sebelum aku beranjak menuju gate terminal keberangkatanku ke Singapura. Mata bulatnya yang selalu tampak berbinar, seolah mencari cara untuk mengalihkan rasa khawatir yang menghinggapi dadaku.

"Cukup satu setengah jam, kamu bisa langsung terbang ke Jakarta, nanti aku pasti jemput kamu ke bandara ini," lanjutnya lagi seraya memamerkan senyumnya. Sedetik kemudian, dia merentangkan tangannya lebar-lebar. "Hug me," ucapnya seraya memejamkan matanya.

"Apakah ada minuman yang ingin anda pesan, Pak?" seorang pramugari berseragam merah membuyarkan lamunanku.
Buru-buru aku menggelengkan kepala, "Enggak usah, terima kasih." 
Pramugari itu lantas mengangguk sopan dan tersenyum kepadaku, memberiku kesempatan untuk kembali berbaur dengan semua yang ada di sel abu-abu otakku. 

Delia. 
Hampir sepuluh tahun aku mengenalnya, semenjak aku duduk di bangku SMP. Dia yang adalah adik kelasku dulu, selalu berusaha mendekatiku dengan alasan: "Kakak mirip abangku yang udah enggak ada".

Kala itu, aku ingat bagaimana dia berlari mengejarku sepulang sekolah. Dengan seragam putih birunya yang agak longgar, plus backpack berwarna orange yang bertengger manis di punggungnya. "Abangku selalu menungguku sepulang sekolah dan selalu berjalan bersamaku," serunya sambil terengah menjajari langkahku. Kala itu, aku merasa terganggu dengan kehadirannya. Bagaikan makhluk asing dari UFO yang tiba-tiba saja merecoki hidupku.

Namun, ternyata waktu memiliki caranya sendiri untuk mempertemukan manusia. Aku dan dia, bersama menghabiskan waktu kami, dalam suka dan duka. 

Hingga akhirnya aku berada di titik ini. Tidak berada di sampingnya, disaat dia sangat membutuhkan aku. Aku yang dengan bodohnya meninggalkannya begitu saja untuk bekerja di salah satu perusahaan arsitektur di Singapura, dengan mimpiku yang selangit, ternyata justru telah mengabaikan kebahagiaanku seutuhnya yang paling berharga. Kehadirannya.

Delia.
Gadis itu menutupi kondisi kesehatannya dariku. Gadis itu masih sempat memikirkan aku yang pasti mengkhawatirkan kondisinya. Dan aku terlalu bodoh untuk tidak menyadari hal itu.

Delia. 
Gadis itu kini terbaring disana. Di salah satu sisi rumah sakit, berjuang melawan penyakitnya. Penyakit yang sama yang dulu merenggut kehidupan kakaknya. Kuharap, ada cerita lain untuk Delia. Semoga keajaiban menemaninya.


[Flash Fiction] Lagu yang Bukan Sekedar Nada

Ruangan luas dan gelap. Auditorium ini dipenuhi oleh hampir seratus lima puluh mahasiswa yang baru saja diwisuda, selepas empat tahun perjuangan menghadapai dunia akademik yang seringkali membuat kami jatuh, terseok, bahkan tersungkur. Orang tua dari masing-masing mahasiswa pun hadir, duduk dalam dekapan air mata keharuan saat menjadi saksi mata hasil dari jerih payah perjuangan putra-putrinya.

Aku berdiri di salah satu ruangan. Denting pertama piano pun terdengar. Tanganku bergetar, mencoba memegang microphone dengan seimbang. Aku berusaha sebisa mungkin mengingat agar rangkaian lirik di dalam benakku tidak berhamburan dari benakku. Tenggorokanku terasa tercekat menahan serak seiring air mata yang mungkin akan mengiringi nada lagu yang akan mengalun dari bibirku sesaat lagi.

Satu lagu itu... lagu Bunda, tidak jarang aku nyanyikan di depan umum. Lagu itu bahkan seakan telah tercetak di benakku... layaknya lagu-lagu lain yang seringkali aku dengar ataupun aku nyanyikan. Tapi detik ini, alunan intro piano yang mengalun, akan menemaniku menyampaikan pesanku.

Kubuka album biru... penuh debu dan usang...

Nada itu mulai terurai dari bibirku. Ruangan yang semula gelap, kini menjadi lebih terang saat sorotan lampu mengarah kepadaku yang tengah berdiri di samping piano, di dekat temanku, di atas panggung...

Kupandangi semua gambar diri... kecil bersih belum ternoda...

Detik ini, bayangan akan perjuangan orangtuaku berkejaran di dalam benakku. Detik ini... aku berada disini, di tempat ini... dengan kelulusan ini... adalah buah dari keringat dan tangis yang tergadai oleh kedua orangtuaku.  

Jiwa raga dan seluruh hidup... rela dia berikan...

Bibirku bergetar menahan tangis. Kali ini aku bukan bernyanyi... bukan untuk menghibur semua orang yang sedang melihatku menyanyi di hari kelulusanku dan teman-temanku. Nada ini... adalah ucapan terima kasih kami... buah hati para orang tua yang menginginkan satu kebahagiaan untuk anak-anaknya. 

"Ini kado kami, Bunda. Terima kasih telah melahirkan kami... mendidik kami... dan menjadikan kami orang yang hebat," tuturku di akhir lagu. 

Lampu auditorium kemudian sepenuhnya dinyalakan. Air mata telah membasahi pipiku. Begitupun ibuku, yang duduk di seberang sana, di antara deretan orang tua mahasiswa lain. Aku melihat dia duduk disana. Berlinang air mata. Air mata kebahagiaan... untukku. 

Monday, September 17, 2012

[Flash Fiction] This is My Way to Love You


“Kamu tidak akan pernah bisa menjadi orang yang cukup baik untuk aku, itu alasannya.” Aku dapat melihat denyut tipis di pelipis mata perempuan di hadapanku saat mengatakan hal itu. Hal yang menjadi bom untukku. Bom yang memporakporandakan semua yang aku inginkan. Dia. Hanya dia yang aku inginkan.

“Lepasin,” erangnya marah, mencoba melepaskan genggaman tanganku yang melingkar kuat di pergelangan tangan kanannya.


Aku membisu, tidak menggubris keinginannya.

“Aku bilang lepasin!” kali ini suaranya lebih lantang. Matanya tajam menatap marah kepadaku. Napasnya memburu. “Lepas!!!”

Aku dapat mendengar bisik suara orang-orang di sekitarku. Orang-orang itu memperhatikanku, yang tidak peduli dengan apapun yang ada dalam pikiran mereka yang tengah menonton keributanku dengan Sena di teras sebuah kafe yang sarat pengunjung. Genggaman tanganku makin erat melingkari tangan Sena. “Aku ga akan ngebiarin kamu pergi.”

Wajah Sena berubah merah padam. Dia menarik napas dalam-dalam, seolah aku adalah parasit busuk yang mengganggu ruang napasnya. “Ini yang bikin aku ingin pergi dari kamu,” ucapannya sedingin es. “Ini yang aku benci dari kamu.”

“Aku ga bisa kehilangan kamu,” ucapku dengan penekanan. Aku serius dengan apa yang aku ucapkan. Aku tidak akan pernah membiarkan perempuan yang telah bersamaku selama beberapa tahun ini meninggalkanku.

“Aku benci kamu,” Sena mengulangi perkataannya.

Suara berisik orang-orang di sekitar kami semakin jelas terdengar. Aku tidak peduli. Demi apapun yang harus aku korbankan di dunia ini, aku tidak peduli. Yang aku pedulikan hanya Sena.

“Kamu mencintai aku dengan cara kamu yang brengsek.”

Aku terpaku mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Sena. “Aku banyak berkorban untuk kamu,” aku mencoba membela diri. “Semuanya. Kehidupanku.”

“Dengan caramu yang kasar dalam mencintaiku? Dengan mengungkung kebebasan yang aku punya? Dengan menjadikan aku boneka yang bisa kamu atur sesuka hati kamu?” ucapan Sena menjelma bagai teror untukku.

“Ini cara aku agar aku ga kehilangan kamu. Kamu hanya milikku…”

“Tidak lagi,” potong Sena dengan ketus. “Sifat posesif kamu itu yang bikin aku muak. Aku akan menikahi orang lain. Secepatnya.”

Goresan itu terasa makin jelas sekarang. Entah apakah aku yang buta, atau perempuan ini yang buta. Tidak bisakah dia melihat sebesar apa rasa yang aku miliki untuknya? Hidupku untuknya. Tidak bisakah dia mengerti itu? Tidak bisakah dia merasakan apa saja yang bisa kukorbankan untuknya? Aku mencintainya. Aku terlalu mencintainya. Permintaannya untuk meninggalkannya sama saja dengan menyuruhku untuk mati.

[Flash Fiction] Janji

Aku berdiri cemas diantara puluhan orang yang berdiri di sekitarku. Orang-orang itu sibuk mencari deretan orang-orang yang berlalu-lalang melewati pintu terminal kedatangan di bandara ini. Aktivitas yang sama sepertiku. Mencari seseorang. Satu jam sudah aku berdiri dengan diliputi rasa gundah sekaligus bahagia yang membucah dari dalam hatiku.Arina pulang. Arina kembali kepadaku.Sederet kalimat yang melintas di otakku itu menerbitkan senyum di wajahku.

Sepuluh menit berlalu. Aku belum melihat sosoknya. Kemana Arina? Hanya orang-orang asing dengan koper-koper yang dipegang orang-orang asing yang sibuk bolak-balik terlihat di sudut-sudut mataku.


“Indra?”

Sebuah suara mengagetkanku. Sesosok perempuan dengan penampilan menawan berdiri di depan mataku. Menatapku dengan sorot bingung.

Aku merasa tersihir melihat sosok itu. Rupanya tidak berubah. Seperti dulu, setahun yang lalu, sebelum dia memutuskan untuk menjadi model di Jakarta dan pindah dari Jogja. Dulu, paras itu selalu memperlihatkan senyum malu-malu padaku. Tapi sekarang…

“Ngapain kamu di sini?” tanyanya pelan dengan ekspresi wajah yang tidak bisa kubaca.

Terlambat bagiku untuk menyembunyikan kotak kecil yang ada di dalam genggamanku. Entah kekuatan darimana yang membuat tanganku terulur ke arah Arina, menunjukkan kotak kecil itu kepadanya. “Ini… buat kamu…,” ucapku dengan tergugup.

Arina menunduk, memperhatikan sebuah lingkaran kecil yang tersemat di kotak kecil yang tutupnya telah ia buka itu. Sebuah cincin. Benda yang kujanjikan saat dulu kami berpisah. Setahun yang lalu kami berjanji akan mengikat cinta kami sepulangnya dia dari Jakarta.

“Kamu… masih ingat janji kita, kan?” tanyaku dengan suara tercekat.

Arina menundukkan kepalanya tanpa memberi jawaban.

“Kamu… ingat kan?” ulangku lagi. Sesunggunya aku tidak ingin mempertanyakan hal itu. Aku takut bila jawabannya…

“Tunggu, Rin!” sebuah suara membuyarkan pikiranku. Seorang lelaki muncul dari belakang tubuhnya. Lelaki yang tengah menarik kopor berukuran cukup besar itu berjalan ke arah Arina… ke arahku, tanpa menyadari kekakuan antara aku yang tengah berdiri tepat di hadapan Arina.

Jantungku berdegup kencang tak karuan. Ada rasa takut yang menggerogotiku.

"Ini… tunanganku,” kata itu terucap pelan dari bibir Arina. 

Dalam hitungan detik, mimpiku untuk menikah dan hidup bersama perempuan yang paling aku cintai, lenyap seketika.

Saturday, September 15, 2012

[Flash Fiction] Kembali

Selama dua tahun aku berdiri di ambang asa yang entah telah berapa juta kali menghempaskan semua harapku, semua mimpiku. Lelaki itu secara tiba-tiba datang di hidupku. Membuka pintu hatiku yang dulu tertutup rapat setelah aku terluka karena cinta.

“Aku kembali, untuk kamu…”

Aku terhenyak mendengar ucapan yang meluncur dari bibir lelaki yang kali ini tiba-tiba muncul kembali di episode hidupku. Kalian bisa berkata selama dua tahun ini aku bagaikan mummy. Kaku. Dan sekarang, Dion, lelaki yang saat ini berdiri di hadapanku, tiba-tiba ada disini, menungguku di depan kantor tempatku bekerja, selama dua jam.

“Darimana kamu tau aku ada disini?” nadaku sedikit meninggi saat mengatakan hal itu. Andai dia tahu, bukan marah yang aku rasa. Entah kemana rasa sakit yang kurasakan selama ini. Rasanya semua menghilang tanpa bekas saat kini aku bisa menatap wajahnya. Merasakan udara yang sama dengannya.

“Kamu tau dengan jelas kalau aku akan kembali,” ucapnya pelan. Lelaki itu mencoba untuk tersenyum.

“Tidak,” sentakku padanya. Aku terlalu naïf. Aku terlalu takut untuk memegang kata-katanya dulu sebelum dia pergi ke Jepang untuk melanjutkan studinya. “Kamu, adalah lelaki tanpa komitmen. Itu kan yang dulu kamu bilang?”

Rasanya aku ingin menangis. Egoku mengatakan bahwa aku bisa melupakannya. Aku bisa sembuh dari rasa sakit karena kehilangan lelaki yang pernah bersamaku, walaupun hanya selama tiga bulan, sebelum kepergiannya ke Jepang. “Aku jauh dari kamu. Kamu disana, aku disini. Dan selama dua tahun, kita tidak berhubungan sama sekali.”

Lelaki itu tiba-tiba berjalan mendekat ke arahku. Listrik ribuan watt terasa merambati pembuluh darahku saat kurasakan jemarinya mengelus lembut pipiku. “Kamu enggak menyadari apa yang telah kamu perbuat pada hatiku,” ucapnya lembut. “Kali ini aku akan mengejarmu. Menyembuhkan luka di hatimu. Aku mencintai kamu."

Mataku terasa panas mendengarkan kata-katanya. Aku juga mencintaimu, batinku. Ingin aku menjerit di dalam hati.

“Hanya kamu yang ada di hatiku. Kamu yang membuatku sanggup merasakan apa arti cinta. Hanya kamu. Kamu tidak akan pernah terganti. Kali ini, aku mohon, beri aku kesempatan.”

Saat menatap bola matanya yang menunjukkan ketulusan, aku sadar, aku tak perlu lagi mengikuti egoku. Karena aku… mencintainya. Tanpa syarat.

Wednesday, August 15, 2012

[Flash Fiction] Hunted by Memory

Afra mendongakkan kepalanya. Tangannya yang mungil mencoba meraih sebuah buku yang terletak di bagian paling atas rak buku berwarna peach di kamarnya. Buku itu tampak sudah mulai berdebu, saking lamanya tidak ia sentuh. Tapi kali ini, ia harus mendapatkan buku itu ke dalam pangkuannya. Ya, karena hari ini adalah hari terakhirnya berada di kamar ini. Sebentar lagi perempuan berusia 24 tahun itu akan pindah ke kota lain. Ke tempat lain yang mungkin dapat memberinya kesempatan untuk sedikit mengobati luka hatinya.

BRUG.
Buku yang paling dihindari oleh Afra itu pun jatuh mencium lantai. Ada jeda selama beberapa detik. Selama periode itu, Afra merasakan bayangan-bayangan yang berlarian secara membabi buta di dalam kepalanya. Satu minggu yang lalu. Satu bulan yang lalu. Satu tahun yang lalu. Dan kenangan-kenangan itupun akhirnya berhasil membuat benteng pertahanan di dalam hatinya runtuh. Bahkan sebelum ia sanggup membuka buku itu, tubuhnya terasa lemas. Rasanya tulang-tulang di dalam tubuhnya menghilang. Membuatnya rapuh tanpa bentuk. Kenangan-kenangan itu masih memburunya.

Wednesday, May 2, 2012

[Cuap-Cuap] "Start Button"



This is my new blog... yang kuharap akan jadi tempat baru bagiku, untuk menghapus dahaga dalam hasrat menulisku.
Yes, i miss my time on writing...
Dulu... satu, dua cerita... yang kemudian menetas menjadi beberapa cerita pernah aku buat dalam kotak pembangun imajinasiku, beberapa tahun lalu.
Lantas 'kehidupan' menulisku itu pun tanpa tersadar telah berpaut pada satu kata, jeda.
Hingga akhirnya entah berapa lama aku hanya sanggup membaca tulisan... bukan membuat tulisan.
So this new blog, i dedicated to my self... who want to try to push the "Start Button" again in my 'writing' life... and of course for you, the readers who are willing to share the time to read this blog. And most of all, to all the inspiration giver -fiction or not- that help me to build the characters... and the stories.

This CANDY BOX... i prepared for you... who want to taste the bitter-sweet-sour-salty of a story.



With love,
Pia Devina