Pages

Monday, September 17, 2012

[Flash Fiction] Janji

Aku berdiri cemas diantara puluhan orang yang berdiri di sekitarku. Orang-orang itu sibuk mencari deretan orang-orang yang berlalu-lalang melewati pintu terminal kedatangan di bandara ini. Aktivitas yang sama sepertiku. Mencari seseorang. Satu jam sudah aku berdiri dengan diliputi rasa gundah sekaligus bahagia yang membucah dari dalam hatiku.Arina pulang. Arina kembali kepadaku.Sederet kalimat yang melintas di otakku itu menerbitkan senyum di wajahku.

Sepuluh menit berlalu. Aku belum melihat sosoknya. Kemana Arina? Hanya orang-orang asing dengan koper-koper yang dipegang orang-orang asing yang sibuk bolak-balik terlihat di sudut-sudut mataku.


“Indra?”

Sebuah suara mengagetkanku. Sesosok perempuan dengan penampilan menawan berdiri di depan mataku. Menatapku dengan sorot bingung.

Aku merasa tersihir melihat sosok itu. Rupanya tidak berubah. Seperti dulu, setahun yang lalu, sebelum dia memutuskan untuk menjadi model di Jakarta dan pindah dari Jogja. Dulu, paras itu selalu memperlihatkan senyum malu-malu padaku. Tapi sekarang…

“Ngapain kamu di sini?” tanyanya pelan dengan ekspresi wajah yang tidak bisa kubaca.

Terlambat bagiku untuk menyembunyikan kotak kecil yang ada di dalam genggamanku. Entah kekuatan darimana yang membuat tanganku terulur ke arah Arina, menunjukkan kotak kecil itu kepadanya. “Ini… buat kamu…,” ucapku dengan tergugup.

Arina menunduk, memperhatikan sebuah lingkaran kecil yang tersemat di kotak kecil yang tutupnya telah ia buka itu. Sebuah cincin. Benda yang kujanjikan saat dulu kami berpisah. Setahun yang lalu kami berjanji akan mengikat cinta kami sepulangnya dia dari Jakarta.

“Kamu… masih ingat janji kita, kan?” tanyaku dengan suara tercekat.

Arina menundukkan kepalanya tanpa memberi jawaban.

“Kamu… ingat kan?” ulangku lagi. Sesunggunya aku tidak ingin mempertanyakan hal itu. Aku takut bila jawabannya…

“Tunggu, Rin!” sebuah suara membuyarkan pikiranku. Seorang lelaki muncul dari belakang tubuhnya. Lelaki yang tengah menarik kopor berukuran cukup besar itu berjalan ke arah Arina… ke arahku, tanpa menyadari kekakuan antara aku yang tengah berdiri tepat di hadapan Arina.

Jantungku berdegup kencang tak karuan. Ada rasa takut yang menggerogotiku.

"Ini… tunanganku,” kata itu terucap pelan dari bibir Arina. 

Dalam hitungan detik, mimpiku untuk menikah dan hidup bersama perempuan yang paling aku cintai, lenyap seketika.

No comments:

Post a Comment