Pages

Monday, September 17, 2012

[Flash Fiction] This is My Way to Love You


“Kamu tidak akan pernah bisa menjadi orang yang cukup baik untuk aku, itu alasannya.” Aku dapat melihat denyut tipis di pelipis mata perempuan di hadapanku saat mengatakan hal itu. Hal yang menjadi bom untukku. Bom yang memporakporandakan semua yang aku inginkan. Dia. Hanya dia yang aku inginkan.

“Lepasin,” erangnya marah, mencoba melepaskan genggaman tanganku yang melingkar kuat di pergelangan tangan kanannya.


Aku membisu, tidak menggubris keinginannya.

“Aku bilang lepasin!” kali ini suaranya lebih lantang. Matanya tajam menatap marah kepadaku. Napasnya memburu. “Lepas!!!”

Aku dapat mendengar bisik suara orang-orang di sekitarku. Orang-orang itu memperhatikanku, yang tidak peduli dengan apapun yang ada dalam pikiran mereka yang tengah menonton keributanku dengan Sena di teras sebuah kafe yang sarat pengunjung. Genggaman tanganku makin erat melingkari tangan Sena. “Aku ga akan ngebiarin kamu pergi.”

Wajah Sena berubah merah padam. Dia menarik napas dalam-dalam, seolah aku adalah parasit busuk yang mengganggu ruang napasnya. “Ini yang bikin aku ingin pergi dari kamu,” ucapannya sedingin es. “Ini yang aku benci dari kamu.”

“Aku ga bisa kehilangan kamu,” ucapku dengan penekanan. Aku serius dengan apa yang aku ucapkan. Aku tidak akan pernah membiarkan perempuan yang telah bersamaku selama beberapa tahun ini meninggalkanku.

“Aku benci kamu,” Sena mengulangi perkataannya.

Suara berisik orang-orang di sekitar kami semakin jelas terdengar. Aku tidak peduli. Demi apapun yang harus aku korbankan di dunia ini, aku tidak peduli. Yang aku pedulikan hanya Sena.

“Kamu mencintai aku dengan cara kamu yang brengsek.”

Aku terpaku mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Sena. “Aku banyak berkorban untuk kamu,” aku mencoba membela diri. “Semuanya. Kehidupanku.”

“Dengan caramu yang kasar dalam mencintaiku? Dengan mengungkung kebebasan yang aku punya? Dengan menjadikan aku boneka yang bisa kamu atur sesuka hati kamu?” ucapan Sena menjelma bagai teror untukku.

“Ini cara aku agar aku ga kehilangan kamu. Kamu hanya milikku…”

“Tidak lagi,” potong Sena dengan ketus. “Sifat posesif kamu itu yang bikin aku muak. Aku akan menikahi orang lain. Secepatnya.”

Goresan itu terasa makin jelas sekarang. Entah apakah aku yang buta, atau perempuan ini yang buta. Tidak bisakah dia melihat sebesar apa rasa yang aku miliki untuknya? Hidupku untuknya. Tidak bisakah dia mengerti itu? Tidak bisakah dia merasakan apa saja yang bisa kukorbankan untuknya? Aku mencintainya. Aku terlalu mencintainya. Permintaannya untuk meninggalkannya sama saja dengan menyuruhku untuk mati.

No comments:

Post a Comment