Pages

Saturday, September 22, 2012

[Flash Fiction] Lagu yang Bukan Sekedar Nada

Ruangan luas dan gelap. Auditorium ini dipenuhi oleh hampir seratus lima puluh mahasiswa yang baru saja diwisuda, selepas empat tahun perjuangan menghadapai dunia akademik yang seringkali membuat kami jatuh, terseok, bahkan tersungkur. Orang tua dari masing-masing mahasiswa pun hadir, duduk dalam dekapan air mata keharuan saat menjadi saksi mata hasil dari jerih payah perjuangan putra-putrinya.

Aku berdiri di salah satu ruangan. Denting pertama piano pun terdengar. Tanganku bergetar, mencoba memegang microphone dengan seimbang. Aku berusaha sebisa mungkin mengingat agar rangkaian lirik di dalam benakku tidak berhamburan dari benakku. Tenggorokanku terasa tercekat menahan serak seiring air mata yang mungkin akan mengiringi nada lagu yang akan mengalun dari bibirku sesaat lagi.

Satu lagu itu... lagu Bunda, tidak jarang aku nyanyikan di depan umum. Lagu itu bahkan seakan telah tercetak di benakku... layaknya lagu-lagu lain yang seringkali aku dengar ataupun aku nyanyikan. Tapi detik ini, alunan intro piano yang mengalun, akan menemaniku menyampaikan pesanku.

Kubuka album biru... penuh debu dan usang...

Nada itu mulai terurai dari bibirku. Ruangan yang semula gelap, kini menjadi lebih terang saat sorotan lampu mengarah kepadaku yang tengah berdiri di samping piano, di dekat temanku, di atas panggung...

Kupandangi semua gambar diri... kecil bersih belum ternoda...

Detik ini, bayangan akan perjuangan orangtuaku berkejaran di dalam benakku. Detik ini... aku berada disini, di tempat ini... dengan kelulusan ini... adalah buah dari keringat dan tangis yang tergadai oleh kedua orangtuaku.  

Jiwa raga dan seluruh hidup... rela dia berikan...

Bibirku bergetar menahan tangis. Kali ini aku bukan bernyanyi... bukan untuk menghibur semua orang yang sedang melihatku menyanyi di hari kelulusanku dan teman-temanku. Nada ini... adalah ucapan terima kasih kami... buah hati para orang tua yang menginginkan satu kebahagiaan untuk anak-anaknya. 

"Ini kado kami, Bunda. Terima kasih telah melahirkan kami... mendidik kami... dan menjadikan kami orang yang hebat," tuturku di akhir lagu. 

Lampu auditorium kemudian sepenuhnya dinyalakan. Air mata telah membasahi pipiku. Begitupun ibuku, yang duduk di seberang sana, di antara deretan orang tua mahasiswa lain. Aku melihat dia duduk disana. Berlinang air mata. Air mata kebahagiaan... untukku. 

No comments:

Post a Comment